PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #5

Gerbang Waktu Antara Dua Batu

Mali membawa Bintan ke ceruk di balik tanjung, tempat sebuah perahu motor kecil tertambat. Perahu nelayan itu tampak lapuk, berlumut, tetapi mesinnya menyala dengan sekali tarikan. Derunya serak dan membuat telinga pekak.

Perahu menggerung, mereka pun mengarung. Kendaraan air yang kecil itu terombang-ambing hebat dihantam ombak. Cipratan-cipratan yang dingin terasa seperti tamparan di wajah Bintan. Kalau begini terus, bisa-bisa ia pulang dalam keadaan basah kuyup.

Kurang asem! Orang ini bisa nyetir, enggak, sih? gerundelnya sambil mencengkeram sisi perahu erat-erat. Buku-buku jarinya memutih.

Di hadapan amukan samudra, Bintan merasa kecil dan tidak berdaya. Rasa skeptisnya terhadap mesin waktu perlahan terkikis oleh rasa gentar yang lebih primitif: takut perahu ini terbalik dan tenggelam.

Untungnya, perjalanan laut ini hanya beberapa ratus meter. Makin mendekati celah di antara dua batu karang, makin jelas penampakan gerbang logam itu. Bentuknya mirip pintu detektor sinar-X sebagaimana yang biasa Bintan lihat di bank atau Pelabuhan Noesawoefi. Bedanya, bagian bawah rangka itu terendam air laut.

Kabel-kabel tebal dan terisolasi menjulur dari sisinya, bagaikan sulur-sulur tanaman artifisial yang memanjat ke permukaan batu karang. Kabel itu terhubung ke sebuah generator bertenaga diesel di ceruk tersembunyi salah satu karang, di samping sebuah parabola kecil yang menengadah ke langit.

Sebelum perahu merapat dan membentur karang, Mali mematikan mesin perahunya. Ia melompat lincah ke tepian karang dan mengikatkan tali perahunya ke pasak yang tertancap di batu karang, agar tidak sampai hanyut terbawa arus. Ia lalu memanjat batu setinggi manusia dewasa itu.

Sementara, Bintan tetap duduk anteng di perahu. Telinganya terasa lebih tenang tanpa suara mesin. Kini, hanya bunyi ombak membentur karang yang terdengar dominan.

Sambil duduk santai di atas batu karang, Mali mengeluarkan sebuah perangkat yang mirip telepon satelit model lama dari tas pinggangnya. Bentuknya besar, berantena, dan penuh tombol.

Pikiran Bintan tentang prank kini terasa bodoh dan naif. Takkan ada kreator konten yang mau repot-repot membangun instalasi serumit dan semahal ini hanya untuk sebuah lelucon.

“Jadi, ini semua… sungguhan?” Suara Bintan nyaris tidak terdengar, setengah bertanya kepada dirinya sendiri.

Mali mendengarnya. Namun, ia hanya menanggapinya dengan senyum, sambil terus mengutak-atik telepon satelit yang sepertinya berfungsi sebagai panel kontrol itu.

“Tapi,” ucap Bintan, terlihat kurang nyaman, karena kendati sudah ditambatkan di pasak, perahu yang ditumpanginya masih terombang-ambing dan terkadang menabrak-nabrak karang. “Kenapa harus di laut, sih?”

“Lokasi ini istimewa,” jawab Mali, setengah berteriak untuk mengalahkan kebisingan aktivitas alami laut. “Ada anomali geomagnetik yang sangat langka di dasar laut… tepat di bawah sana! Medan magnetnya tidak stabil, secara periodik menciptakan keretakan mikroskopis dalam struktur ruang-waktu. Lubang cacing alias wormhole, mungkin kamu pernah mendengar istilah ini. Tapi ukurannya lebih kecil dari atom dan hanya eksis dalam hitungan nanodetik.”

Bintan manggut-manggut. Kini ia mulai menganggap masuk akal klaim Mali bahwa ia seorang doktor Geosains.

Lihat selengkapnya