Kesadaran kembali dalam bentuk rasa sakit. Tajam menusuk dan sedikit gatal. Bintan membuka mata dengan sentakan panik. Silau matahari yang menembus sela-sela dedaunan membuatnya menyipit. Di ujung hidungnya, seekor kepiting bakau kecil berwarna lumpur balas menatapnya dengan sepasang mata bertangkai. Capitnya menolak untuk lepas.
“Uihhh!” reaksi Bintan seraya mengibaskan binatang itu dengan kasar.
Ia bangkit terduduk, napasnya tersengal. Kepalanya berdenyut hebat. Setengah tubuhnya basah, bukan hanya oleh air laut, melainkan juga oleh lumpur dingin yang berbau amis.
Mata Bintan memindai sekitar. Rupanya, ia berada di tengah-tengah hutan bakau, tak terlalu jauh dari tanjung tempat portal di antara dua batu tadi berada.
Portal…
Mesin waktu…
Alat aneh yang memekakkan telinga…
Terowongan air yang berdaya tarik superkuat…
Ingatan itu datang dalam kilasan-kilasan yang samar, seperti potongan adegan dari sebuah mimpi buruk.
Bintan meraba sekujur tubuhnya. Tidak ada yang patah atau terluka parah. Hanya beberapa goresan di lengan, sedikit perih di hidung akibat jepitan kepiting sialan tadi, dan rasa sakit di kepala, mungkin karena terbentur sesuatu.
“Aku… selamat,” gumamnya. Perasaan lega yang hangat menjalari dirinya. Seseorang atau beberapa orang pasti telah menariknya keluar dari laut. Mungkin para nelayan Dusun Kawufian. Atau mungkin… Mali?
Bintan sontak berdiri begitu nama itu muncul di ingatannya. Pandangannya kembali mengedar. Ia berlari menuju pantai untuk mencari sesuatu atau seseorang. Namun, tidak ada apa-apa atau siapa-siapa. Perahu motor Mali lenyap. Generator dan parabola di atas batu karang pun sudah tidak tampak.
Yang paling aneh, ia tidak melihat turbin-turbin angin yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUM Des) UM Energiwufi di atas tebing sana. Atau, jangan-jangan, ini bagian yang lain dari Pantai Wungu!
“Pak Mali?” panggil Bintan sambil berlari-lari kecil. “PAK DOKTOR MALIIII??”