PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #7

Rumah Kenangan Bintan

Pengemudi Suzuki A100 Econos itu menurunkan Bintan tepat di depan rumahnya. Setelah mengucapkan terima kasih yang terasa hampa, Bintan berdiri mematung di sana. Menatap pekarangan serta bangunan di hadapannya. Ia jadi ragu apakah ini benar-benar rumahnya.

Memang, dilihat dari bentuknya secara keseluruhan, gentingnya yang berlumut di sana-sini, cat temboknya yang biru pudar dan sebagian mengelupas memperlihatkan bata-bata merah, model nako-nako jendelanya, serta koleksi pot tanaman bunga milik mendiang ibunya, sembilan puluh persen Bintan yakin ini adalah rumahnya. Yang aneh, mengapa masih ada pohon mangga manalagi itu?

Seingatnya, tiga tahun silam, ayahnya sudah menebang pohon yang menjulang tiga meter itu lantaran akarnya yang merusak dan membuat lantai teras terangkat. Bintan masih ingat betapa menjengkelkannya bunyi gergaji mesin yang meraung-raung sepanjang pagi di akhir pekan itu.

Apa mungkin papa menebang pohon yang lain, ya?

Saat sibuk merenung, dari ekor matanya, Bintan menangkap sesosok figur yang begitu diakrabinya. Duduk di kursi besi depan teras, sosok itu sedang sibuk menjahit sarung bantal. Hanya dengan melihatnya saja, napas Bintan tertahan di tenggorokan. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama beberapa detik. Dunia di sekelilingnya senyap.

Ia kenal postur tubuh itu.

Ia kenal daster dan sweter yang dikenakannya.

Tapi, bagaimana mungkin?

Kaki Bintan seakan bergerak sendiri menghampiri sosok itu. Setiap langkahnya terasa labil, ganjil, seperti dalam mimpi anak kecil.

Sosok itu rupanya merasakan kehadiran Bintan. Ia mengangkat kepalanya.

Bintan makin tercengang melihat ibunya. Bernapas! Wajah yang seminggu lalu begitu pucat di UGD puskesmas itu tampak hidup. Wajah yang ia kecup untuk terakhir kali sebelum ditimbun dalam lubang 1 x 2 meter persegi itu mendengus kesal.

Enggak salah mataku ini?

Mereka bakutatap selama beberapa detik.

“A-asalamualaikum, M-Ma?”

“Wa alaikum salam,” jawab perempuan itu cepat, seolah tidak ada yang aneh. “Eh, Tan, kebetulan! Tolong masukin benang ini ke lubang, dong. Plus Mama kayaknya sudah nambah lagi! Tapi papamu suka nunda-nunda pesan kacamata baru,” keluhnya, sembari menyodorkan jarum jahit dan gulungan benang.

Sebuah permintaan yang begitu normal, begitu sehari-hari, hingga terasa absurd. Bintan melangkah maju, menepis tangan ibunya dengan lembut, dan merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya.

Ini… nyata!

Dunia Bintan meledak dalam sensasi yang meluap-luap. Kehangatan tubuh ibunya. Aroma parfum dan bedak yang khas. Tekstur kain jilbab dan sweternya yang usang. Ia juga merasakan tulang belikat ibunya yang terkadang ia pijat ketika diminta. Ia bahkan bisa mendengar detak jantungnya yang teratur.

Bintan mendekapnya erat. Matanya terpejam, ia mencoba menyerap setiap detik dari kemustahilan yang menyenangkan ini. Tak terasa, isak tangisnya pecah, mengguncang-guncang seluruh tubuhnya.

“Heh, heh, kamu ini kenapa?” tanya ibunya, tangannya menepuk-nepuk punggung Bintan. “Lepas dulu, lepas dulu! Mama enggak bisa napaaaas…!”

Sebuah cubitan tajam lantas mendarat di pinggang. Refleks, Bintan melepaskan pelukannya seraya tertawa dan mengusap air matanya. Cubitan itu merupakan senjata pemungkas khas ibunya, selalu efektif untuk menghentikan pelukan Bintan yang mulai keterlaluan.

“Kamu kenapa, to?” tanya ibunya empatik, sambil meletakkan bantal, benang dan jarum ke keranjang di sampingnya.

Lihat selengkapnya