Barangkali Bintan sedang mengalami mabuk pascaterbang alias jetlag. Ia bukan hanya “terbang” melintasi zona waktu yang berselisih jam-jaman, melainkan tahunan. Tepatnya 21 tahun! Wajarlah bila kemudian siklus tidurnya menjadi kacau. Badannya menjerit-jerit seperti mau ambruk, tetapi ia selalu gagal ketika mencoba tidur. Di lain sisi, asmanya yang kambuh sedikit-banyak turut andil membuatnya tidak nyaman saat berbaring.
“Makan malaaaaam!” teriakan khas yang ia rindukan itu akhirnya kembali menyentuh gendang telinganya. Suara ibunya.
Walaupun kepala sedang pening akibat penerbangan lintas waktu dan napasnya pendek-pendek lantaran terlalu banyak menghirup debu kamar, Bintan menyambut ajakan ibunya. Ia memaksakan tubuhnya keluar kamar. Toh, perutnya memang sedang keroncongan.
Di meja makan itu, segalanya telah tersaji. Nasi goreng, selada, irisan timun, tempe goreng, telur ceplok, ayam panggang, sambal, dan kerupuk. Semuanya tesedia, tanpa Bintan berpayah-payah memasak atau mengeluarkan uang. Ia tersenyum tipis. Enak banget jadi anak-anak….
Seperti biasa, ayah dan ibunya sudah terlebih dahulu bersantap malam. Jadwal mereka lebih teratur. Usai Salat Magrib, biasanya mereka langsung makan. Sementara, Bintan baru mengisi perutnya setelah Salat Isya.
Keluarga ini memang tidak lagi memiliki budaya makan bersama sejak anak-anak beranjak remaja dan punya kegiatan masing-masing. Walhasil, meja makan Keluarga Satama hanya berfungsi laiknya meja prasmanan: ambil makanan dari sana, kapan pun kamu mau, lalu bawa piringmu ke mana saja.
Dwi yang baru datang di ruang makan langsung mengambil piring dan menyekop nasi goreng. Sebaliknya, Bintan mengambil lauk pauknya dahulu, sambil menunggu centong nasi yang sedang dipakai kakaknya. Ia menyendok delapan potong tempe goreng, satu telur ceplok, paha ayam, timun, dan selada. Sebagai pelengkapnya, ia menambahkan sedikit nasi goreng di atasnya.
Tanpa sadar, sepasang mata iri mengamati tindak tanduknya itu.
Bintan lantas menghampiri mamanya yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Ia pun membawa piring makanannya dan langsung duduk di sofa, tepat di sebelah perempuan itu. Meski tidak lagi memiliki tradisi makan bersama, setidaknya masih ada budaya nobar di sini. Jika ada siaran langsung bulu tangkis, tinju, atau sepak bola, niscaya satu keluarga bisa berkumpul berjejalan di ruang ini.
Walaupun, tradisi “menonton bersama” ini pun tak berumur panjang. Pada gilirannya akan punah juga, terutama setelah tiap anggota keluarga memegang ponsel pintar yang bisa mengakses siaran semua stasiun televisi. Maka, sudah benar jika Bintan ingin menikmati kebersamaan ini, selagi masih ada waktu.
Ternyata, televisi sedang menayangkan sinetron Bawang Merah Bawang Putih di RCTI. Bintan tersenyum melihat pemerannya, Nia Ramadhani dan Revalina S. Temat, yang masih terlihat imut dan lugu.
“Tumben, enggak makan di kamar,” celetuk mamanya.
“Lagi asma,” jawab spontan Bintan, menyembunyikan alasan sebenarnya bahwa ia kemari sekadar untuk bisa mengobrol dan melepas rindu dengan mamanya. “Kalau di kamar terus, bisa tambah sesak napas, kan? Bismillah!” ucap Bintan, lalu menyuapkan sendok pertamanya ke dalam mulut.
“Lagu lama,” ibunya melengos balik ke layar televisi. “Makanya, bersih-bersih kamar itu tiap hari, atau minimal tiap minggu. Bukan tiap semester!”
Bintan terkekeh. Kekehan yang pendek-pendek, karena pernapasannya memang sedang terhambat akibat alergi debu.
Datanglah Dwi yang langsung duduk di karpet depan televisi dan menyalakan kipas angin. Tanpa ba-bi-bu, ia melabrak Bintan. “Itu biang keladinya, Ma! Lihat itu, berapa tempenya? Bandingkan dengan porsi nasinya!”
“Lah, kenapa? Ini, kan, biasa aja… oh!” Bintan tersadar. Ia baru ingat, sejak kecil memang dididik untuk makan segala sesuatu dengan nasi. Bahkan dadar jagung, perkedel, french fries, dan mi pun wajib dilahap bersama nasi! Ada perasaan berdosa atau mubazir jika lauk enak tidak disantap dengan nasi.
“Nasi cuma seuprit, tapi lauknya menggunung kayak porsi makan kuli yang barusan garap gedung tiga lantai!” sungut kakaknya.