PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #10

Sapa Kata untuk Neta

Hela-embus napas Bintan terdengar seperti peluit sepanjang malam, akibat paru-parunya terasa terimpit. Tidak nyaman berbaring, ia memutuskan duduk di kasur. Kesemutan duduk bersila terlalu lama, ia memutuskan berdiri. Lelah berdiri, ia berbaring lagi. Begitu seterusnya.

Hingga pukul dua, matanya masih melek di kamarnya yang gulita. Tidak ada TikTok, YouTube, atau ponsel pintar yang dapat mengalihkan perhatiannya dari penderitaan ini. Yang ada cuma radio di meja belajarnya dan televisi di ruang keluarga. Itu pun pada jam segini, kebanyakan siarannya pasti sudah berakhir. Baca buku atau majalah? Justru debu dari kertas-kertas itulah sumber malapetaka ini.

Jadilah Bintan hanya larut dalam pemikirannya. Terutama tentang tiga keajaiban yang dialaminya hari ini: mesin waktu, mamanya yang hidup kembali, dan fisiknya yang balik menjadi remaja.

“Bagaimana ini semua bisa terjadi?”

“Apakah portal yang sama sewaktu-waktu bisa mengantarnya kembali ke tahun 2025?”

“Seandainya harus terus berada di tahun 2004, apa rencana-rencanaku?”

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak kunjung memperoleh jawaban. Malah membuat hasrat tidur Bintan kian memudar, berganti dengan rasa lapar. Ia pun pergi ke dapur untuk meneguk dua sendok madu. Kelaparan berhasil diadang, tetapi rasa kantuk tetap enggan datang.

Baru satu jam berikutnya, Bintan benar-benar tertidur.

Begitu singkat.

Tahu-tahu, mamanya membangunkannya untuk Salat Subuh. Dengan mata sembap dan kepala yang terasa berat, Bintan memaksa dirinya mengambil air wudu.

Setelah salat, ia bersiap-siap. Kembali ke masa remaja berarti kembali bersekolah. Ia akan duduk lagi di bangku kecil itu, mendengarkan pelajaran-pelajaran yang sebagian besar sudah dilupakannya, karena tidak relevan dengan problem-problem kehidupan dewasanya.

Parahnya, hari ini, 11 Oktober 2004, adalah Senin. Artinya, akan ada upacara bendera. Oh, tidaaaaak….

Yang lebih parah, ini bukan awal tahun ajaran. Bintan masuk di tengah-tengah semester, saat tidak ada lagi toleransi bagi kekikukan dan kesalahan siswa baru. Ia tidak tahu apakah hari ini ada PR, ulangan, atau hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk kegiatan tertentu. Bintan pun tidak tahu harus bertanya ke mana. Ia sudah lupa siapa teman-teman SMP-nya, apalagi rumah mereka!

Apa boleh buat. Bintan hanya akan mengandalkan logika orang dewasanya. Seharusnya, tidak ada persoalan anak SMP yang tidak bisa dipecahkan dengan pengetahuan dan pengalaman orang dewasa, bukan? Ya, seharusnya demikian.

Tapi, dewasa?

Bintan jadi ragu sendiri dengan kedewasaannya begitu mematut diri di depan cermin kamar. Seragam putih-biru itu terlihat kedodoran di tubuhnya yang kurus. Ia meraih topi biru di atas meja, mengenakannya, hanya untuk meningkatkan keculunannya satu derajat lebih tinggi.

Dan selama ini, dengan pedenya, aku merasa diri udah keren? Aih....

Setelah pamit kepada kedua orang tuanya, Bintan bergegas menuju gudang, tempat ia meletakkan sepedanya yang berdebu. Bintan menyempatkan diri mengelap serta memompa bannya yang sedikit kempes, sebelum akhirnya memedalnya ke luar pekarangan rumahnya.

Lihat selengkapnya