Sambil menggaruk-garuk tengkuknya, Bintan berdiri di antara deretan bangku kelas 7C. Ia mampu menghitung volume beton bangunan ini, sambil menerapkan rumus-rumus matematika serta fisika. Namun, ia gagal mengingat di mana posisi tempat duduknya? Sungguh, ia merasa senasib pesulap Houdini yang bolak-balik selamat dari aksi-aksi mempertaruhkan nyawa, tetapi akhirnya meninggal karena pukulan sepele seorang mahasiswa.
Bahkan sekadar untuk menebak salah satu di antara 16 bangku yang ada pun Bintan ragu. Hingga, satu per satu penghuni kelas 7C berdatangan. Mereka masuk sembari tertawa-tawa, saling mendorong, dan melempar tas ke bangku yang sudah jelas milik mereka. Bintan yang belum menemukan bangkunya hanya bisa menyingkir, pura-pura membaca papan pengumuman kelas yang isinya jadwal piket dan siapa yang tidak masuk kemarin.
Tidak tahan dengan suasana canggung, Bintan akhirnya meletakkan tasnya di bangku sembarang. Lalu, ia pergi menuju kamar kecil lantai dua. Ini trik lamanya untuk menghindari situasi jengah dalam interaksi sosial, sebelum kelak tiba era ponsel.
Di toilet, Bintan tidak melakukan apa-apa. Buang air pun tidak. Ia hanya berdiri diam, menghabiskan waktu di ruang sempit yang beraroma amonia itu. Hujan terdengar jatuh menderas. Dari dalam bilik toilet, Bintan dapat menyimak sorak-sorai para murid. Ia ikut tersenyum. Hujan berarti takkan ada upacara bendera. Hore!
Bel masuk akhirnya mengalun. Bintan keluar dari liang persembunyiannya. Bagaimanapun, seandainya boleh memilih, ia lebih suka berada di ruangan 1 x 1,5 meter persegi yang pesing itu sedikit lebih lama. Susah payah ia meyakinkan dirinya agar tidak terlampau khawatir. Ini hanya kehidupan anak SMP. Aku pasti bisa mengatasi semuanya! Semalam aja, aku berhasil membungkam Mas Dwi dan Mas Eko. Bisa, yuk… bisa!
Bau pesing berganti semerbak petrikor begitu Bintan keluar dari toilet. Ia spontan tersenyum sembari memejamkan mata. Aroma khas tanah bertemu air ini senantiasa sukses membuatnya sendu dan relaks. Ingin rasanya ia berlama-lama di sini, mengamati langit yang kelabu, hujan yang menembaki bumi, sembari menghidu petrikornya. Sayangnya, koridor lantai dua tidak sesepi tadi. Ia akan tampak aneh jika melamun di sini sendirian.
Kelas 7C begitu ramai saat Bintan menapakkan kaki di lantainya. Ironisnya, tak seorang pun memedulikan kedatangannya. Tidak ada yang menyapanya. Bintan bagaikan hantu yang tidak terlihat. Memang seperti inilah masa remajanya. Tidak dipandang, mudah dilupakan. Sangat memprihatinkan, keluhnya.
“Hei, ini punya siapa?” Suara seorang gadis membelah kelas. Semua anak terdiam dan menoleh. Termasuk Bintan. Di baris ketiga, seorang siswi cantik berjilbab sedang mengangkat tas biru tinggi-tinggi. Walaupun lupa namanya, Bintan langsung ingat siswi itu. Si juara kelas yang karakternya dingin seperti kutub selatan.
“Punyaku,” sahut Bintan, buru-buru berjalan menghampirinya.
Siswi itu meletakkannya kembali di meja. “Ngapain ditaruh di bangkuku?”
“Caper aja itu, Vit!” sahut seorang siswa. “Pura-pura salah naruh tas, biar ada kesempatan ngobrol sama kamu.”
“Cara lama. Enggak kreatif. Basiiiii…!” timpal anak lainnya.
Seisi kelas langsung tertawa berjemaah.
“Maaf, ya,” ujar Bintan, sambil membentuk gestur namaskara di dadanya. Ia berusaha melirik nama di dada gadis itu. Sebagian tertutup oleh jilbabnya, tetapi ingatan Bintan sudah terpantik. Nama gadis ini Savitri Edenia. “Eh, Vitri? Kalau bukan di sini, biasanya aku duduk di mana, sih?”
Vitri mengernyit. Matanya menatap Bintan dengan pandangan aneh. “Bebas aja mau di mana, Om! Asal jangan di bangkuku.”
Teman sebangkunya terlihat menahan tawa.
“Oh, ayolah, Vit. Aku benar-benar lupa.”
“Pantesnya, sih, di sana,” jawab Vitri, seraya menunjuk meja guru.
Walaupun suara Vitri tidak terlalu kencang, tetapi karena posisinya di tengah-tengah kelas, siapapun dapat mendengarnya. Tak pelak, bom tawa kembali meledak di kelas itu.
Wajah Bintan memerah. Satu menit yang lalu, ia mengeluhkan sikap tak acuh teman-temannya. Giliran semua perhatian sekarang tercurah kepadanya, ia malah mengeluh lagi.
“Woiii, Tan! Sini, lo!”
Bintan menengok, berusaha mencari sumber suara. Di bangku pojok belakang, seorang bocah dengan rambut klimis dan mulut lebar melambai-lambaikan tangannya. Nah, teman akrabnya inilah yang seharusnya sedari tadi Bintan cari. Karena kemungkinan besar, ia duduk sebangku bersamanya. Namanya Dodo Shamaya. Anak ini nantinya akan melanjutkan sekolah di SMK Jember, kemudian bekerja sebagai pegawai Indomaret di Surabaya.
Sebuah gelombang kelegaan luar biasa menyapu Bintan. Ia pun berjalan cepat menuju bangku Dodo.
“Dari tadi kayak orang linglung, kamu enggak papa?” tanya Dodo begitu Bintan duduk di sampingnya.
“Cuma kurang tidur, Do,” jawab Bintan singkat. Hatinya sekarang tenang. Posisinya kini aman. Menemukan bangku ibarat menguasai benteng pertahanan di kelas. Dari sini, ia bisa mulai mengamati sekeliling. Mengingat-ingat kembali tiap nama dan wajah. Sesekali, ia bertanya ke Dodo beberapa wajah yang benar-benar telah memudar dari memorinya.
Tiba-tiba, kelas yang ribut menjadi hening. Sesosok pria berpakaian batik masuk kelas dengan langkah-langkah tegap. Wajahnya tegas, keras, membawa dua buku dan tongkat rotan sepanjang setengah meter.
“Ini guru Bahasa Indonesia, kan?” konfirmasi Bintan. “Eh, siapa namanya?”
Dodo memperhatikan teman sebangkunya sambil geleng-geleng kepala. Namun, ia tampaknya sudah bosan melayani pertanyaan-pertanyaan bodoh Bintan. Ia pun menjawab pendek, “Pak Anwar.”
“Oh, iya. Lupa, lupa! Sori, hehehe….”