PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #12

Vitri Seperti Tahu Sesuatu

Sampai giliran Dodo, sudah ada tujuh siswa yang kena cekal. Termasuk Fira yang kini berdiri dengan gugup di depan papan tulis. Pak Anwar menengarai pantun ketujuh anak itu mirip dengan pantun-pantun yang sudah banyak beredar di luar.

“Aduh, kenapa modelnya begini semua, pantun-pantun kalian?” Pak Anwar mengomentari karangan Dodo dan yang lainnya sembari memijati pelipisnya. “Kalian perlu lebih banyak membaca buku-buku sastra, untuk menambah wawasan. Tapi ya sudah, setidaknya pantunmu orisinal. Duduk.”

Dodo mengelus dada sembari mengembus napas lega. Ia selamat. Padahal, secara kualitas, pantunnya lebih garing dari karangan Bintan. Temanya saja banal, yaitu tentang ikan dan sarapan.

“Berikutnya,” Pak Anwar membaca buku presensinya, “Citra Wullur!”

“Hei, Do,” bisik Bintan, memiringkan tubuhnya ke arah Dodo. “Abis ini, ada PR apa lagi? Ngomong sekarang, deh!”

Dodo menoleh, ekspresi bingung terpatri di wajahnya. “Kerasukan apa, sih, kamu hari ini? Lupa tempat duduk, lupa PR, lupa nama-nama teman, terus tadi…,” ia menunjuk ke arah Vitri dengan dagunya, “keren juga pantunmu. Bisa-bisanya nyindir langsung kayak gitu. Tumben otakmu bisa mikir cepet!”

“Kurang asem!” Bintan menyodok pinggang Dodo sambil tertawa. “Jadi, ada PR lain, enggak, nih? Aku enggak mau dapat ‘kejutan-kejutan’ lain hari ini! Bisa mati jantungan aku, kalau gini terus.”

“Enggak ada, sih, rasanya.”

“Rasanya?”

“Kalau ada, pasti udah pada ribut bocah-bocah itu!”

Jawaban Dodo kurang menyakinkan, Bintan pun mencari jawaban lain. Ia bertanya kepada Endel, teman sebangku Fira. Endel Sakseswati, nama lengkapnya, adalah tetangganya yang kelak membuka warung makanan laris di Wufitengguli.

“Enggak ada PR apa-apa lagi selain pelajaran Bahasa Indonesia ini,” konfirmasi Endel. Jelas dan tegas.

Bintan pun puas. Ia balik bersandar ke punggung kursinya tanpa cemas.

Hari pertamanya mungkin dimulai dengan agak bergelombang, tetapi semua telah kembali tenang. Ia bisa lebih santai memperhatikan pelajaran sekarang.

“Wawasan Pak Anwar paten juga, ya,” gumam Dodo. “Seperti hafal mana pantun daur ulang, mana yang orisinal.”

“Namanya juga guru Bahasa,” Bintan menimpali singkat. Dalam hati, ia juga mengakui kehebatan gurunya. Sebab, belum ada internet di Desa Wufi saat ini, jadi ia pasti benar-benar mengandalkan daya ingatnya.

“Savitri… Edenia!” panggil Pak Anwar.

Gadis yang disebut segera berdiri.

Beberapa anak kemudian mendesis, “Ssssstt…!” Kelas pun menjadi sunyi, memberi panggung dan lampu sorot bagi juara kelas yang belum bermahkota itu. Di masa depan, dari tahun ke tahun, Vitri langganan ranking satu. Seingat Bintan, ia hanya satu kali terpeleset menjadi peringkat dua. Itu pun karena dirinya sakit selama hampir sebulan.

Bintan mengakui, gadis itu memang cerdas dan memiliki penalaran yang kuat. Penasaran juga ia dengan pantun ciptaannya. Yang awalnya duduk melorot di kursi lantaran jemu, Bintan kini menegakkan punggungnya dan meletakkan kedua tangannya di atas meja.

Tapi lucu juga kalau ternyata Pak Anwar memvonis pantun si sombong itu termasuk jiplakan, hahaha….

Lihat selengkapnya