Mengapa hujannya malah mereda? sesal Bintan. Seandainya masih deras sebagaimana saat jam upacara tadi, ada kemungkinan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) akan diajarkan secara teori saja di kelas dan murid-murid tidak perlu berpakaian olahraga.
Bintan merosot di kursinya. Menyaksikan teman-teman prianya sibuk mengganti seragam putih-biru mereka dengan kaus katun lengan panjang dan training cokelat muda.
“Saranku,” Dodo, yang sudah mengenakan baju olahraga, menumpangkan tangannya di pundak Bintan, “lebih baik kamu ngomong langsung ke Pak Azis. Siapa tahu mood beliau lagi bagus hari ini. Tapi sejak empat bulan sekolah di sini, rasanya aku enggak pernah lihat orang itu dalam kondisi mood yang bagus. Adanya marah-marah terus! Jadi, semoga beruntunglah! Hahahaha….”
Kurang asem! Bintan mengumpat dalam hati, melihat sahabatnya itu berjalan keluar kelas. Eh, tapi….
Segumpal ide tiba-tiba mengkristal di kepalanya. Bintan memang tidak membawa baju olahraga, tetapi ia punya sesuatu yang lain sebagai barternya.
Ia pun bergegas keluar kelas. Koridor lantai dua ramai oleh siswa 7C yang berjalan menuruni tangga untuk menuju lapangan yang becek itu. Bintan mengekor mereka, tetapi begitu menginjak lantai satu, ia mengambil arah yang berlainan.
Tok! Tok! Tok!
Ia mengetuk pintu ruangan yang sebenarnya sudah terbuka itu, sekadar untuk formalitas dan sopan santun.
“Masuk, Mas!” sahut seorang guru perempuan di dalamnya. Seingat Bintan, ia adalah pengajar Bahasa Inggris kelas 8 atau 9. Hanya, ia lupa namanya,
Ruang guru SMP Wufi pada 2004 belum terpasang AC. Aromanya selalu khas: campuran kertas stensil yang sedikit asam, debu kardus-kardus buku, dan kopi. Meja-meja kayu berderet rapat. Ada tiga guru perempuan duduk di kursinya. Satunya berada di mejanya, menyendiri di pojok dan larut dalam pekerjaannya sendiri. Sementara yang dua asyik mengobrol, salah satunya guru Bahasa Inggris tadi.
Bintan mengangguk dan tersenyum ke arah mereka. “Permisi, Bu, saya cari Pak Azis. Beliau di sini?”
Bu guru Bahasa Inggris menjawab, “Pak Azis barusan keluar. Sepertinya ke TU.”
“Baik, thank you, Ma’am.”
Bintan mempercepat langkahnya menuju ruang Tata Usaha. Sempat kebingungan di mana letaknya, tetapi akhirnya ia menemukannya berkat papan petunjuk di lorong. Di sana, Bintan melihat seorang pria bertubuh liat dengan kulit gelap terbakar matahari, sedang sibuk membolak-balik setumpuk kertas.
“Permisi, Pak Azis?” panggilnya pelan, terdengar ragu, takut mengganggu.
Orang itu spontan mendongak. Memandang Bintan sesaat, sebelum kembali fokus pada aktivitasnya. “Ya? Apa?”
Bintan melangkah mendekat. “Maaf, Pak. Saya Bintan Torino, kelas 7C. Saya… mohon izin tidak ikut… olahraga hari ini, karena sesak napas.” Ia kemudian sengaja mengeluarkan bunyi hela-embus napas yang mirip seruling.
Pak Azis menghentikan kegiatannya. Ia menatap Bintan lekat-lekat. Alisnya terangkat. “Kamu asma?”