PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #14

Seni Negosiasi ala Politisi

Setelah nyaris dihukum lantaran tidak mengerjakan pantun dan tidak membawa baju olahraga, kini Bintan tepergok membaca dokumen kesiswaan yang jelas-jelas bukan wewenangnya. Skenario terburuk sudah terbayang: kepala sekolah akan memanggilnya, bersama orang tuanya, dan ia akan dikenal seantero SMP Wufi sebagai anak yang suka lancang.

“Eh… i-iya, Bu,” Bintan buru-buru meletakkan kembali dokumen tersebut di meja. Ia berusaha tetap tenang. Tarik napas. Embuskan. “Tadi, saya habis dari ruang guru, menghadap Pak Azis, buat minta izin enggak ikut olahraga.”

Bu Sari menyipitkan matanya. “Terus?”

“Pak Azis ternyata di sini. Jadi, saya ikuti ke sini.”

“Teruuuus?”

“Pak Azis kelihatan buru-buru ketika mengembalikan map ini,” Bintan menunjuk map merah di meja. “Posisinya agak miring, melorot, terus jatuh. Kertas-kertasnya berserakan di lantai. Saya pungut, Bu. Saya rapikan. Terus, Ibu datang.”

“Kenapa kamu baca?”

“Ya, sebatas untuk merapikan aja, Bu. Biar kertasnya enggak terbolak-balik, atas-bawah, depan-belakang, kelas 7, 8, 9… saya susun rapi,” jawab Bintan dengan tenang, padahal jantungnya bertabuhan bagai genderang.

Bu Sari terdiam sejenak. Matanya terus menancap ke Bintan.

“Kalau enggak percaya, silakan tanya Pak Azis aja kronologinya.”

Perempuan itu memeriksa tumpukan kertas di dalam map. Memang rapi dan tidak terbolak-balik.

“Terus, kepentinganmu di sini apa?”

“Cuma menemui Pak Azis. Beliau udah mengizinkan, dan menyuruh saya istirahat di UKS.”

“Ya udah, ke UKS sana,” ucap Bu Sari.

Bintan merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa. Ia pun mengangguk takzim, kemudian buru-buru meninggalkan ruang TU.

Tidak sampai lima puluh langkah, ia tiba di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Tidak ada orang. Hanya aroma minyak kayu putih, balsam, dan alkohol antiseptik yang menyambutnya.

“Permisiiii, asalamualaikuuum,” ucap Bintan, seraya meletakkan pantatnya di kursi plastik tanpa sandaran di depan meja administrasi. Matanya memindai sekitar. Pemandangan ini masih sama dengan memori terakhirnya: ruangan 3 x 5 meter persegi yang berisi satu meja administrasi, dua lemari, dipan pasien, timbangan badan, wastafel, dan toilet.

Sewaktu sekolah dahulu, jarang sekali Bintan mengunjungi UKS. Pernah, karena demam, ia terpaksa kemari. Harapannya, agar petugas UKS segera memberinya izin pulang lebih cepat setelah mengukur suhu tubuhnya. Ternyata, petugas hanya memberinya obat parasetamol dan menyuruhnya beristirahat di UKS. Ia tetap pulang setelah bel pulang berbunyi.

Akan tetapi, yang membuatnya trauma bukan itu, melainkan termometernya! Entah sudah berapa puluh siswa yang pernah mengempit termometer itu dari tahun ke tahun. Ketika Bintan mendekatkan alat itu untuk memeriksa angkanya sebelum memakainya, bau ketiak yang asam langsung menjangkau hidungnya. Sejak saat itu, Bintan bersumpah takkan kemari lagi.

Namun, setelah 21 tahun, ia rupanya lupa dengan sumpahnya sendiri. Ia membiarkan Pak Azis menyuruhnya mendatangi UKS sekali lagi.

Seseorang keluar dari toilet, “Iya? Ada ap… oh, Bintan?”

Betapa terkejutnya Bintan, ketika tahu yang sedang piket di UKS adalah wali kelasnya sendiri, Bu Maria.

Wah, kebetulan! soraknya.

“Kamu lagi sakit, Tan?”

Ia agak terharu guru Matematika tersebut ingat namanya. Padahal, ia bukan murid yang menonjol. Pintar tidak terlalu, nakal juga tidak. Jarang ada guru yang menghafal murid-murid serbatanggung seperti dirinya. Kalau pun ada, seringnya meleset dengan panggilan “Bintang”.

“Saya enggak ikut olahraga karena sesak napas, Bu. Tadi udah izin Pak Azis.”

Wajah Bu Maria langsung berubah khawatir. Ia buru-buru duduk. “Ya ampun. Parah, enggak?”

“Enggak, sih, Bu.”

“Bernapas masih bisa, kan?”

Kalau enggak bisa, saya udah mati dari tadi, Bu! Bintan tertawa kecil. “Alhamdulillah, lancar.”

“Ibu kasih balsam, ya? Biar dadanya lebih bidang, eh… maksudnya lebih lapang.”

Lihat selengkapnya