PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #15

Bintan vs Neta

Pembina sekaligus pelatih Ekstrakurikuler (Ekskul) Futsal itu masih muda. Umurnya sekitar dua puluhan. Namanya Abdul Munib. Rambutnya keriting, perawakannya sedikit gemuk, tetapi tetap atletis. Ia alumnus SMP Wufi juga. Setelah mendapat lampu hijau dari Bu Maria, Bintan langsung datang Jumat sore ini dan meminta izinnya untuk bergabung.

“Boleh aja, sih,” kata Munib. “Asal kamu serius, berkomitmen untuk terus ikut sampai akhir semester…”

“Siap, Mas!” Bintan menyanggupi.

“… dan bawa perlengkapan sendiri. Minimal jersey dan sepatu futsal. Kalau kiper, jersey-nya bebas, tapi ditambah sarung tangan. Kamu kiper, bukan?”

“Bukan, Mas.”

“Kalau bukan, ya, putih-putih gitu aja.”

Los Blancos gitu?” telunjuk Bintan mengarah ke anak-anak yang lain. “Madridistas, rupanya!”

Munib tertawa. “Los Blancos? Iya. Tapi enggak selalu yang putih-putih itu Real Madrid, kan? Yang jelas, jersey SMP kita emang begitu. Kamu bisa beli sendiri di luar, atau beli di aku. Terserah.”

“Siap, Mas! Tapi untuk sementara, baju gini, boleh?” tanya Bintan sambil membuka sedikit jaketnya, mempertontonkan seragam Timnas Prancis.

Munib memeriksa penampilan Bintan sekilas, lalu, “Ya, enggak papa. Langsung ke lapangan, ya. Yang lain udah nunggu.”

Bintan bergegas meletakkan tas, topi, dan jaketnya di gazebo kayu di tepi lapangan, bersama dengan tumpukan tas anak-anak futsal lainnya. Dari rumah, ia sudah merangkap pakaian, sehingga sekarang tinggal melepas celana panjangnya dan memasang sepatu.

Pukul 14.55. Cuaca sedang terik-teriknya. Belum apa-apa, Bintan sudah berkeringat. Jantungnya berdebar lebih kencang tatkala berjalan menuju lapangan semen itu. Bukan karena gentar, tetapi lebih karena di antara selusin anak yang membentuk setengah lingkaran di lapangan itu, ia melihatnya. Melihat Wyonneta Yukadhewi. Neta!

Kulit kuning langsatnya tampak serasi dengan dengan kaus dan celana putihnya. Rambut pixie serta wajah yang sedikit basah oleh peluh membuatnya terlihat begitu sporty dan siap tempur.

Akhirnya, batin Bintan girang, datang juga kesempatan ini

“Oke, udah kumpul semua?” tanya Munib retorik, berdiri di tengah. Ia memimpin doa, lalu memberi info sekilas bahwa hari ini ada anggota baru. Munib pun memberi kesempatan Bintan untuk memperkenalkan diri secara singkat.

Untuk pertama kalinya dalam 21 tahun, mata Neta tertuju kepadanya selama lebih dari lima detik. Menyenangkan sekali rasanya mendapatkan perhatian gadis itu. Makanya, Bintan berencana memperpanjang perkenalannya dengan menceritakan motivasinya bergabung di ekskul ini. Namun, Munib memotongnya dan langsung memimpin pemanasan bersama.

Bintan pun manyun.

Diam-diam, ia memperhatikan sekelilingnya. Hanya ada tiga perempuan di sana: Neta dan dua gadis berjilbab yang belum Bintan kenal. Neta tidak memperhatikannya lagi. Ia fokus melakukan gerakan-gerakan perenggangan, seakan tidak tertarik atau penasaran sedikit pun terhadap “anak baru”.

Santai. Ini baru awal. Bintan menyemangati dirinya sendiri.

Satu jam pertama adalah latihan teknis. Munib mengajari anak buahnya dasar-dasar futsal. Anak-anak berlatih mengoper bola dengan cepat dan akurat menggunakan kaki bagian dalam, lalu menggiringnya menyusuri jalur garis lapangan.

“Jangan keluar garis!” teriak Munib. “Pakai sol sepatu kalian! Bola harus nempel!”

Karena tidak pernah berlatih bola secara khusus, Bintan terlihat keteteran. Staminanya belum siap untuk latihan seintens ini, sekalipun sesak napasnya sudah sepenuhnya pulih.

“Ayo, Bintan! Jangan kayak robot!” ledek Munib.

Bintan hanya menyengir, sambil melirik Neta. Gadis itu bergerak lincah, seolah bola adalah bagian dari kakinya.

Sesudah istirahat sebentar, di jam kedua, Munib membagi anak buahnya menjadi dua tim: Rompi Oranye dan Tanpa Rompi. “Karena yang hadir cuma 12 orang. Nanggung. Semua main aja. Enggak ada pemain cadangan!”

Lihat selengkapnya