PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #16

Resolusi Tahun Ini

Keesokan paginya, Bintan nyaris tidak bisa bangkit dari kasur. Setiap senti otot dan persendiannya, mulai betis hingga punggung, menjerit. Delayed Onset Muscle Soreness (DOMS). Otak dewasanya tahu istilah medis itu, tetapi tubuh remajanya hanya bisa menerjemahkannya sebagai “remuk”.

“Salat Subuh, Salat Subuh!” entah sudah berapa kali ibunya menggedor-gedor pintu kamarnya dan mengulang frasa itu. Namun, baru kali ini, Bintan dapat mendengarnya.

Susah payah, ia mencoba duduk dan menyahut, “Iya, Maaaa…!”

Lebih susah lagi, ketika ia mencoba membungkuk untuk wudu di depan keran. Apalagi untuk melakukan gerakan-gerakan salat. Ia tidak habis pikir. Perasaan, pas Salat Magrib dan Isya kemarin badanku enggak serenta ini, deh!

Seusai salat, Bintan memeriksa perlengkapan sekolahnya. Semua serba dalam gerak lambat, seperti seorang pemalas. Ia tidak mengantuk, karena tidurnya cukup. Pukul delapan, ia sudah terbang ke alam mimpi, saking letihnya. Kini, matanya segar. Hanya, badannya pegal-linu. Membuat gerakan-gerakannya selambat kungkang.

“Kamu kenapa jalannya kayak orang jompo gitu?” tanya Sembadra, ibunya, di meja makan.

“Gara-gara futsal kemarin, Ma,” jawab Bintan, mencoba terdengar santai.

“Futsal? Tumben!”

“Makanya! Enggak pernah latihan, sekalinya latihan langsung tancap gas. Beginilah akibatnya, hahaha!”

“Oalah!” Ibunya tergelak sambil beranjak dari meja makan.

Tidak mau banyak bergerak, Bintan kali ini memilih sarapan di meja makan. Ia menyantap makanan di piringnya yang berisi telur ceplok, tempe goreng, dan sayur lodeh sisa kemarin. Seperti biasa, nasinya sedikit. Minumnya wedang jahe yang dimaniskan dengan dua sendok madu.

Tak lama kemudian, ibunya kembali lagi. Ia meletakkan sebuah amplop biru di samping piring Bintan.

“Apa ini?” tanya Bintan.

“Enggak mau?” mamanya malah balik bertanya.

Perlu waktu beberapa detik bagi Bintan untuk menyadari bahwa itu adalah uang sakunya. Memang, uang saku biasanya diberikan pada pertengahan bulan seperti sekarang. Bintan pun tersenyum menyadari betapa enaknya menjadi bocah. “Makasih, ya, Ma.”

Sembari mengunyah makanannya, Bintan membuka amplop itu. Isinya empat lembar uang dua puluh ribuan yang masih kaku, dan dua lembar sepuluh ribuan. Totalnya Rp100.000. Bibir Bintan melorot. Seratus ribu? Ini buat sebulan? Yang benar saja! Bisa buat beli apa uang segini?

Ia menyuap makanannya kembali ke mulut. Lalu, seolah ia mengunyah pengetahuan baru, matanya pun terbuka. Tunggu! Ini, kan, tahun tahun 2004!

“Pa!” serunya.

“Apa?” sahut ayahnya yang sedang menonton berita televisi di ruang keluarga.

Lihat selengkapnya