PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #17

Diplomasi Peredam Persekusi

Kantin sekolah riuh rendah pada jam istirahat. Bau kuah soto Bu Min yang gurih bercampur dengan aroma rawon, pecel, es jeruk, teh manis, dan keringat anak-anak. Dodo melahap porsi sotonya dengan beringas, kuah kuningnya sampai memercik ke bibir dan pipinya.

“Beneran, cuma makan gituan?” tanya Dodo dengan mulut penuh dan bibir yang belepotan kuning. “Tiap hari begitu, kamu ini bangkrut atau emang enggak dikasih uang saku, sih?”

Bintan yang duduk di sampingnya tersenyum, sambil asyik mengunyah kacang panggang yang ia ambil dari ruang tamu tadi pagi. “Aku udah sarapan, tahu! Ini buat camilan aja. Sehat, kaya protein.”

“Makan kacang kamu bilang kaya… apa? Kayak monyet?” ledek Dodo.

“Kamu, tuh, kayak badut! Cemong gitu enggak nyadar!” balas Bintan santai.

Dodo tertawa lebar, memperlihatkan giginya yang kuning lantaran kuah soto. Ia menarik tisu gulungan di meja untuk mengelap mulutnya. “Lagian, kenapa keanehanmu terus bertambah tiap hari? Tiba-tiba, ikut futsallah. Tiba-tiba, hidup hematlah. Kesambet apa, sih, kamu?”

Raut wajah Bintan tetap datar. “Kesambet ruhku sendiri dari masa depan.”

“Halah, omonganmu! Tambah aneh!”

Dodo hanya tidak tahu, sahabatnya sedang dalam misi menyeimbangkan Resolusi #3 (Perbaikan Fisik) dan #4 (Keuangan). Bintan butuh protein untuk memulihkan ototnya yang sedang sobek-sobek, tanpa perlu merogoh kocek. Jadi, kacang gratis adalah solusi yang realistis.

Bel istirahat berbunyi nyaring. Dodo buru-buru meminum habis segelas es jeruknya. Mereka lalu kembali ke kelas 7C.

Namun, di bawah tangga lantai satu, masalah menanti Bintan. Seorang anak berkulit gelap, rambut keriting, dan badan kekar, berdiri memblokir jalannya. Ia tidak sendirian. Di sampingnya, seorang anak gemuk berkulit putih, tampak mengepalkan tangan. Wajah keduanya terlihat tidak bersahabat.

Sugik dan Leo… alamak! Bintan tahu apa yang mereka permasalahkan. Itulah mengapa jantungnya kini berdebar kencang. Adrenalin dingin menjalar di punggungnya.

Tidak tahu menahu, Dodo berjalan santai saja melewati keduanya. Namun, begitu merasa Bintan tidak lagi berjalan di sampingnya, ia yang sudah naik beberapa anak tangga menoleh ke belakang. Ia melihat Sugik dan Leo mencegat Bintan. Dodo mengangkat kedua tangannya sambil menatap Bintan, seolah mengatakan, “Ada masalah apa?”

Bintan mengusirnya dengan gerakan dagunya. Sorot matanya yang sayu seakan mengatakan kepada Dodo, “Udah, sana! Ini bukan urusanmu!”

Dodo ragu sejenak. Firasatnya tidak enak. Akan tetapi, ia juga bukan tipe siswa pemberani. Ia tahu benar reputasi Sugik dan Leo. Dodo pun mengangguk kaku dan pelan-pelan melanjutkan langkahnya menaiki tangga.

Bintan kini sendiri, berhadapan dengan dua calon preman sekolah ini. Dua puluh satu tahun yang lalu, sikap Bintan sama dengan Dodo: cenderung mengalah. Selalu menjauh dari masalah.

“Heh!” bentak Sugik, sambil mendorong bahu Bintan. Wajahnya garang, penuh amarah yang tertahan. “Kamu kemarin kurang ajar banget! Nyawamu ada berapa, Nyuk?”

Ini jelas persekusi. Bintan tahu ia tidak bisa lari. Melawan pun tidak memungkinkan. Tubuhnya terlalu kurus untuk hal-hal seperti ini. Bahkan jika otot dan persendian tubuhnya tidak sedang bermasalah, ia tetap tidak akan menang. Lagi pula, mereka berdua. Satu-satunya keunggulannya sekarang adalah, ia memiliki otak seorang pria 33 tahun.

Santai, Bintan, mereka cuma bocil yang haus pengakuan….

“Kok, diam!?” Leo ikut mengintimidasi, sambil sedikit menoyor kepala Bintan. “Woooi! Ingat, enggak? Kemarin sore! Apa udah pikun?”

Lihat selengkapnya