Sabtu, sekolah selalu pulang lebih cepat. Begitu bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi pada pukul 11.45, Bintan memelesat dari kelasnya ke tempat parkir, lalu dari tempat parkir keluar sekolah. Ia hanya tidak mau membuang waktu untuk berurusan lagi dengan Leo dan Sugik. Setidaknya, tidak sampai Senin, ketika nanti ia bisa merancang siasat baru untuk mengatasi dua preman bocil itu.
Namun, saat ini, Bintan ada urusan lain yang lebih penting. Ia mengayuh sepedanya ke Dusun Jawufi. Sejak pagi tadi, ia memang sudah berniat pergi ke Koh Naga, satu-satunya toko emas dan perhiasan di Desa Wufi.
Bintan memarkir sepedanya dan masuk ke toko sederhana itu.
“Cari apa?” sambut pemilik toko, seorang pria Tionghoa paruh baya berkacamata tebal. Orang-orang biasa memanggilnya Engkoh.
“Emas batangan ada, Koh? Yang setengah gram?” tanya Bintan, berusaha terdengar seperti pembeli serius.
Engkoh itu malah tertawa, memamerkan gigi emasnya. “Haiyaaah… setengah gram? Mana adalah! Batangan owe cuma 25 dan 50 gram. Kalau mau yang lebih kecil, ada perhiasan. Tapi itu juga bukan setengah gram.”
Bintan kecewa. Emas 25 gram. Uang dari mana? “Yang batangan itu Antam?”
“Tanpa merek laaaa. Tapi tetap emas murni. Lu mau buat apa memangnya?”
“Disimpan aja, Koh. Buat investasi.”
Si Engkoh tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Investasi? Kamu SMP kelas berapa, hah? Sudah mikir investasi. Bagus, bagus! Kalung aja, gimana? Investasi juga, nanti dijual harganya juga ikut harga emas. Bentuknya malah cakep-cakep, mau lihat?”
Bintan menggeleng. Ia belum tertarik mengoleksi emas perhiasan yang karatnya sudah pasti di bawah 24. “Enggak, Koh. Kalau perhiasan, kapan-kapan aja. Makasih, ya.”
“Haiyaaaah….”