PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu

Braindito
Chapter #19

Merasa Klop di English Club

Hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan, Bintan mulai membangun reputasinya sebagai siswa berprestasi. Ia melibas dengan mudah pelajaran-pelajaran sulit di kelas, seperti Matematika dan IPA. Wajar saja, di masa asalnya, Bintan adalah sarjana Teknik Sipil Infrastruktur Hijau. Anak IPA!

Lambat laun, seisi kelas menyegani Bintan, baik dari kalangan murid maupun guru. Apalagi Bintan juga cakap berbicara. Saat bocil-bocil sebayanya kerap mengulang kata-kata semacam “eng” atau “apa namanya”, gaya bicara Bintan sudah efektif, terstruktur, bahkan sesekali ada selipan humor-humor cerdas.

Ia aktif di Ekstrakurikuler Futsal tiap Jumat. Meskipun lantaran kurangnya bakat, ia tetap saja menjadi bulan-bulanan di lapangan. Tidak masalah. Tujuannya memang hanya untuk melatih staminanya, dan selangkah demi selangkah mendekati Neta.

Lalu setiap Selasa siang, Bintan mengikuti English Club. Ia merasa paling klop di sini. Hari ini, misalnya, ia mendapat pujian bertubi-tubi dari pembimbingnya. Miss Alva begitu terkesan dengan kosakata dan kelancaran Bintan berbicara dalam bahasa Inggris.

Ya, Alva! Bintan baru ingat nama itu. Inilah salah satu guru yang ia jumpai di ruang guru saat ia sedang asma tempo hari.

Saat Miss Alva meminta peserta ekskul melakukan presentasi tentang apapun dalam bahasa Inggris di depan kelas, Bintanlah yang pertama mengacung. Dan presentasinya selama tiga menit, bertema The Future of Wufi Village, memang bagus dan penuh percaya diri, meski tanpa persiapan.

Tepuk tangan pun menggema di kelas.

Yang membuat Bintan heran, ternyata Leo Jayamurcita, si tengil yang satu tongkrongan dengan Sugik ternyata juga ikut ekskul ini! Anak nakal bisa juga peduli dengan keterampilan berbahasa Inggris? Rupanya, ia preman yang sadar akan masa depan!

Entah Bintan harus senang atau khawatir dengan kehadiran Leo. Sempat terlintas juga pikiran, jangan-jangan Leo di sini untuk mengawasi atau punya niat buruk terhadapnya.

Namun, Bintan memilih dugaan pertama. Sebab, dilihat dari penampilannya, Leo terlihat terawat. Kulitnya putih bersih, rambutnya klimis, wajahnya cerah, badannya gemuk segar, dan selalu wangi parfum. Ia pasti anak orang kaya, minimal kelas menengah. Terlepas dari kenakalannya, keluarganya barangkali kalangan berpendidikan tinggi.

“Apa rahasianya, Bintan?” tanya Miss Alva, kali ini dalam bahasa Indonesia.

Bintan yang masih berdiri di depan kelas tersadarkan dari lamunannya. “Hah? Rahasia apa, Miss?”

“Rahasia kamu bisa pintar bahasa Inggris begini.”

“Ah, enggaklah, Miss….” Bintan merasakan darah naik dan menghangat di wajahnya. Ia tidak percaya, di usia 33 tahun, masih saja bisa tersipu salah tingkah begini ketika dipuji oleh guru yang barangkali seumuran dengannya.

“Ayolah, mungkin teman-temanmu bisa meniru. Tak baik menyimpan ilmu buat diri sendiri saja.”

Bintan bingung juga menjawabnya. Namun, akhirnya tercetus jawaban praktis, “Saya suka nonton film Barat, Miss, tanpa membaca subtitle-nya. Awal-awalnya, memang bingung ini tokoh ini ngomong apa, yang sono ngomong apa. Tapi lama-lama, saya terpaksa berkonsentrasi. Otak dan telinga harus fokus, kalau enggak kepengin ketinggalan ceritanya. Lama-lama, paham juga.”

I see,” Miss Alva manggut-manggut. “Lalu, biar bisa ngomong dengan lancar, apa tipnya?”

Lihat selengkapnya