Angin dari perbukitan menyapu lembut wajah Alex ketika ia berdiri di pelataran Istana Tirtadipa. Matanya tak henti menelusuri pemandangan yang terbentang luas: rumah-rumah beratap jerami, sawah bertingkat yang menghijau, dan tembok kota yang menjulang melindungi seluruh wilayah. Di balik semua keindahan itu, ia merasa terasing — seperti tamu tak diundang dalam dunia yang tak seharusnya ia masuki.
“Pakai ini,” suara lembut terdengar di belakangnya.
Alex menoleh. Seorang gadis muda berdiri sambil membawa pakaian khas kerajaan: kain panjang berwarna cokelat tua dan baju dengan kerah tinggi. Usianya sekitar dua puluh, rambutnya dikuncir separuh, dan sorot matanya tajam seperti elang. Wajahnya tidak ramah, tapi tidak pula memusuhi. Tegas.
“Apa ini?” tanya Alex sambil menatap pakaian itu.
“Baju rakyat kami. Kau tak bisa terus pakai kostum aneh dari duniamu. Kau menarik perhatian terlalu banyak.”
Alex tersenyum miring. “Namamu siapa?”
“Namaku Arya. Aku pengawal pribadi Putri Kamara. Tapi saat ini, diperintahkan untuk mengawasimu.”
“Jadi aku ini tahanan?”
“Bukan,” jawab Arya. “Tapi bukan juga orang bebas.”
Alex terkekeh. “Terdengar seperti situasi politik modern.”
Arya menatapnya sejenak, lalu berbalik. “Cepatlah ganti. Sang Raja ingin berbicara.”
•••
Raja Dirgantara, penguasa Tirtadipa, duduk di atas singgasana batu dengan ukiran naga melingkar di sampingnya. Ia pria tua berwibawa, berjanggut abu-abu, namun sorot matanya tajam dan penuh pertimbangan. Di sampingnya, Putri Kamara berdiri anggun — wanita dengan raut lembut dan mata teduh, berbeda jauh dari Arya yang dingin.
“Alex dari masa depan,” ucap sang raja. “Engkau telah datang di saat yang menarik. Langit menandakan perubahan. Dan bumi kami... sudah terlalu lama tertidur.”
Alex menunduk sedikit, mencoba bersikap hormat meski hatinya gelisah. “Yang Mulia, aku tidak bermaksud datang. Ini kecelakaan. Tapi aku tak akan melukai siapa pun.”
“Kau membawa benda-benda kuat,” sela Varka, sang pendeta, yang berdiri beberapa langkah di belakang raja. “Mesin-mesin yang bahkan bisa melihat langit dari tanah, menyembuhkan luka hanya dengan cahaya. Itu bukan kekuatan biasa.”
“Teknologi. Bukan sihir,” jawab Alex. “Di tempatku, semua itu biasa.”
Varka menatap Alex seperti memandang bahaya yang belum meledak.
“Apakah alat-alatmu bisa memanggil hujan?” tanya sang raja.
“Tidak.”
“Bisa menyembuhkan penyakit?”
“Sebagian, ya.”
“Bisa membangkitkan orang mati?”
Alex terdiam. “Tidak.”
Raja mengangguk pelan. “Maka kau bukan dewa.”
“Dan aku tak pernah mengaku sebagai dewa.”