Langit kota Jakarta pada pagi itu tampak biasa. Lalu lintas padat, gedung-gedung pencakar langit menjulang, dan suara klakson saling bersahutan. Tapi di balik ketenangan itu, celah dimensi mulai terbuka.
Tanpa peringatan, udara berubah seperti meretak. Sebuah lubang hitam selebar lapangan muncul di atas kawasan Sudirman. Dan dari dalamnya—tumpah ruah pasukan dalam balutan zirah logam kuno, membawa panji-panji kerajaan, dan diiringi oleh suara auman makhluk-makhluk raksasa.
Pasukan Kerajaan Tirtadipa telah datang.
Dalam waktu satu jam, lebih dari 400.000 pasukan menyebar seperti banjir. Mereka tidak sekadar menyerang — mereka menaklukkan.
Golem-golem menghancurkan gedung. Monster lapis baja menerjang kendaraan. Naga berapi terbang di atas langit kota dan menyemburkan api ke jalan tol. Para penjinak monster memerintahkan pasukannya seperti maestro perang, sedangkan pasukan pejalan kaki membantai warga yang panik berlarian.
Tak ada peringatan. Tak ada waktu untuk evakuasi.
Dan dunia modern... tak siap.
•••
Alex tiba di kota beberapa jam setelah invasi dimulai. Ia melintasi jalanan rusak, menyaksikan mobil-mobil terbakar, tubuh-tubuh tergeletak tanpa nyawa, dan gedung-gedung roboh seperti kertas.
Ia berdiri di tengah persimpangan yang porak-poranda, menatap reruntuhan pusat perbelanjaan yang dulu ia kunjungi bersama teman-temannya. Sekarang hanya tumpukan beton dan darah.
Tangannya gemetar. Wajahnya kosong.
Ia menggertakkan gigi.
“Aku datang untuk memperingatkan... Tapi mereka tak percaya. Mereka menunda. Dan sekarang...”
Sebuah jeritan memotong pikirannya. Dari ujung jalan, seorang anak kecil berlari dikejar oleh makhluk mirip singa bersisik dengan taring panjang dan mata merah.
Alex langsung bergerak. Ia melemparkan bom suara mini ke arah makhluk itu — dentuman keras memekakkan telinga. Monster itu terganggu sesaat, cukup untuk Alex mengangkat anak itu dan berlari ke gang sempit.
“Tenang, kamu aman,” katanya cepat.
Anak itu menangis keras, tubuhnya gemetar di pelukannya.
Alex menggertakkan gigi lagi.
“Kalian semua... keparat.”•••
Di pusat komando militer, suasana kacau. Jenderal Wicaksana membentak para perwira di ruang rapat darurat.