PENGGODA DALAM RUMAH

Ammi Poo YP
Chapter #3

Part 3 Dilema

Dewi malam telah menyambut, bulan separuh menggantung cantik di langit gelap menggantikan tugas sang bagaskara. Kulirik penunjuk waktu di pergelangan tangan yang menampilkan angka digital 19.55, itu artinya Arini sebentar lagi akan pulang.

Sengaja aku menunggu di warung kopi tepat di tikungan jalan dekat rumah. Sembari menikmati kopi hitam dan gorengan, pikiranku melayang kembali ke kejadian sore tadi.

Bagaimana jika Arini tahu aku mengunci ibunya di kamar? Apa alasanku akan ia terima? Apakah Arini akan percaya dengan perkataanku? Bagaimana jika wanita iblis itu memutarbalikkan fakta? Apakah Arini akan lebih percaya pada ibunya?

Terlampau banyak pertanyaan berputar dalam otakku, membuat kepala ini terasa pening. Sudah lama aku ingin mengusulkan agar Arini mengontrakkan rumah untuk ibunya, atau mencarikan suami agar wanita itu tidak kesepian. 

Namun, semua ide itu hanya sebatas ide yang terpendam dalam pikiran tak tersampaikan tanpa keberanian untuk mengungkap. Entahlah ... aku hanya memikirkan perasaan Arini, aku takut ia akan salah paham. Tapi jika seperti ini terus menerus, aku yang tersiksa dengan godaan yang sulit ditolak.

'Baiklah, malam ini aku harus mencoba bicara ke Arini,' gumamku dalam hati mencoba menegaskan langkah yang akan aku ambil.

Aku bergegas pamit pada teman-teman nongkrong. Kupikir aku harus segera pulang sebelum Arini tahu aku mengurung ibunya. Paling tidak aku tidak menjadi tersangka percobaan penganiayaan mertua.

Suasana hening. Lengang tak ada suara teriakan itu lagi. Mungkin saja wanita itu kelelahan berteriak. Segera kuputar anak kunci perlahan agar tak terdengar olehnya. Tapi baru saja tangan ini memutar, sebuah suara lagi-lagi mengejutkan aku.

"Menantu kurang ajar!"

Sontak aku berbalik. Wanita bergaun merah dengan belahan dada rendah itu sudah ada di hadapanku dengan berkacak pinggang. Sepertinya ia marah, tapi biarlah ... yang penting aku selamat dari jeratan setan terkutuk ini.

"Kamu pikir mempermainkan aku itu bagus?" tanyanya dengan nada kesal.

"Maaf, Bu. Aku nggak ada maksud begitu. Oh ya, sebentar lagi Arini pulang. Sebaiknya ibu masuk kamar dan ganti pakaian yang lebih tertutup," ucapku dengan sedikit senyum yang kupaksakan.

"Awas kamu!" ancam wanita itu seraya berlalu dari hadapanku menuju kamar, dentuman pintu yang dibanting keras cukup membuatku kaget dan mengelus dada.

Kutarik napas lega, kemudian menghempaskan tubuh ke atas sofa di depan TV. Tak berselang lama kudengar suara motor Arini. Dengan hati penuh bunga kusambut bidadari tak bersayap itu. Sengaja tak kubiarkan diri ini jauh darinya hingga waktu menjelang tidur.

"Mas ini kenapa, sih? Akhir-akhir ini setiap aku pulang pasti romantis habis," tanya Arini saat kupijat kaki jenjangnya.

Kutatap netra teduh milik Arini. Ingin sekali aku jujur mengungkapkan semua, tetapi lidah ini begitu kelu. Akan ada luka yang menikam hati, kecewa sudah pasti akan menjalar membunuh setiap rasa.

"Dek, boleh nggak Mas bicara?" tanyaku dengan hati-hati.

"Mas ini kayak dengan orang lain aja. Mas mau bicara apa?"

"Tapi janji jangan tersinggung, ya?" Aku menghentikan pijatan dan mengubah posisi lebih dekat dengannya.

Lihat selengkapnya