Waktu terus berjalan. Ia tidak menunggu seseorang yang hanya diam di tempat.
***
“Sebenarnya, apa yang telah terjadi, Kak? Tolong yakinkan aku, bahwa dugaan itu telah keliru,” pinta seorang wanita.
Fikri mengepalkan kedua tangannya, lalu menghirup udara kasar dan menghembuskannya dengan cepat.
“Mungkin, sudah saatnya aku mengatakan hal ini padamu. Setelah sekian lama kami merahasiakannya, kini kamu harus mendengar kenyataan itu dariku,” ujar Fikri.
Rama Pramayudha, dalam ingatannya tersimpan masa lalu yang menyayat hatinya. Ia pernah sangat mencintai seorang perempuan. Hubungan mereka jarak jauh. Perkenalannya dengan perempuan itu menjadikan Rama seseorang yang teguh dalam komitmen. Lima tahun adalah waktu yang dihabiskannya dalam penantian. Namun, sesuatu terjadi yang mengharuskan ia melepaskan perempuannya.
**
Rumah ibu selalu menjadi tempat terbaik untuk pulang bagi anak laki-lakinya. Setelah menyelesaikan kuliah, tepatnya pada 21 Oktober 2019, Rama kembali ke Surabaya untuk menemui keluarganya. Dalam perjalanan yang singkat, pandangannya mengarah pada potret panda merah muda di ponselnya. Berulang, ia membaca tulisan tangan yang tersurat di potret panda itu.
“Jika bukan karena cintamu, aku takkan pernah tahu apa itu cinta.”
Begitulah kalimat yang dituliskan perempuannya, saat ia masih pertama mengenal Rama. Ketika itu, perempuannya masih duduk di bangku SMA. Wajah Rama semringah, setiap kali memaknai kata demi kata dalam kalimat perempuannya. Sesekali, ia menggeser layar ponselnya dan mendapati foto diri bersama perempuan yang ditemuinya sehari setelah wisudanya berlangsung. Rama tiba di Surabaya pukul sembilan. Perjalanan dari Tangerang ditempuhnya dengan pesawat terbang.
“Assalamualaikum.”
”Waalaikumsalam,” jawab seorang gadis dari dalam kamar. Gadis itu berjalan menuju depan, lalu membukakan pintu.
“Hai, Din?” sapa seorang laki-laki dengan ragu.
“Mas Rama? Ibu, Mas Rama pulang!” seru gadis itu.
Gadis itu bernama Dina. Ia adalah adik perempuan dari laki-laki yang baru saja melangsungkan wisuda. Dina menyalami Rama, lalu mengajaknya masuk sambil membawakan tas kecil berwarna hitam. Rupanya, tas kecil itu berisi kue dan buah-buahan yang sengaja dibelinya saat Rama keluar dari Bandara. Ibu dan ayah muncul dari ruang keluarga, menghampiri anaknya yang sudah duduk di sofa.
“Di mana Sam?” tanya Rama saat mendapati kakak laki-lakinya tidak kunjung menampakkan diri.
“Kakakmu ada di kamarnya. Ibu dan ayah baru saja menasihatinya semalam.”
“Oh, ya? Nasihat pernikahan lagi?” Rama bertanya dengan nada menggoda.
“Iya, Mas. Nasihat apa lagi untuknya?” Gadis itu serta menggoda kakak sulungnya.
“Hush! Jangan berbicara seperti itu. Lebih baik, kalian bantu ibu mencarikan seseorang untuknya,” pinta ibu kepada kedua anaknya.
“Hhh. Entah sudah berapa banyak perempuan yang ibu kenalkan padanya, tetapi Masmu tetap tidak mau. Katanya, dia mencari perempuan yang berbeda dari perempuan-perempuan itu,” lanjut ibu.
“Iya, Ram. Barangkali, ada teman perempuanmu yang bisa dikenalkan padanya,” tambah Ayah.
Rama berpikir sejenak.
“Aku tidak yakin Sam akan tertarik pada temanku, Yah, Bu,” jawab Rama dengan ragu.
“Kamu kan belum mencobanya,” timbal ibu.
“Emm. Nanti Rama coba pertimbangkan ya, Bu.”
**
Keesokan harinya, Rama menghampiri Haidar di dalam kamar. Ia melihat laki-laki itu sedang membaca sebuah novel. Ponselnya berada jauh tergeletak di atas meja.
“Hai, Sam?” Rama muncul dari balik pintu kamar yang tidak dikunci.
“Ya,” jawab Haidar dengan datar tanpa menolehkan pandangannya.
Laki-laki itu meletakkan ponselnya tepat di samping ponsel Haidar. Lalu menepi, menghadap ke jendela kamar.
“Kata ibu, kamu selalu menolak perempuan yang berusaha dikenalkannya padamu.”
Haidar hanya mengalihkan pandangannya pada Rama sesaat, lalu melanjutkan membaca novel.