Senyummu kembali, tetapi perasaan itu telah benar-benar pergi.
***
Setiap Sabtu, selepas asar, jika langit menampakkan jingganya, ia selalu menyempatkan diri datang ke taman balai kota untuk sekadar menikmati suasana ramai kendaraan. Keadaan taman yang sama sekali tidak memiliki banyak perubahan sejak lima tahun terakhir, membuatnya merasakan kembali masa-masa saat ia masih menjadi seorang mahasiswa.
Pukul empat, seorang perempuan duduk di kursi sudut taman, dekat jalan yang ramai. Pandangannya mengarah pada sebuah labirin di ujung selatan. Sesekali, ia melihat layar ponselnya, lalu tersenyum.
“Ternyata, kamu masih sering duduk di kursi itu,” ujar seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul dari belakang.
Ririn membalikkan badan. Ia terkejut melihat laki-laki itu menemukannya. “Eh? Iya. Kakak sendiri?” Ririn sedikit menggeser duduknya.
“Jangan tanya aku.” Rama duduk tepat di samping Ririn, di kursi yang sama. “Aku tidak akan pernah melepaskan tempat ini, sekali pun kenangan yang ada di dalamnya,” lanjut Rama.
Ririn tertegun mendengar jawaban yang sama sekali tidak pernah ia duga.
“Mengapa seperti itu?” Ririn bertanya dengan polos.
“Kamu pasti sudah tahu alasannya.” Laki-laki itu menjawab dengan santai.
Ririn kembali tertegun. Ia merasa gugup dengan percakapannya sore itu. Perempuan itu segera melirik jam di ponselnya. “Sudah hampir petang, aku harus segera pulang.” Ririn beranjak dari kursi.
“Tunggu!” Rama menyeru dari belakang, menghentikan langkah perempuan itu. “Aku akan ikut denganmu,” lanjut Rama seraya berjalan mendahului perempuannya.
Ririn terdiam sesaat. Mereka beriringan keluar taman, lalu menyeberangi jalan. Setelah sampai di seberang, Rama menyempatkan diri untuk membeli dua gelas minuman hangat.
“Ini!” Laki-laki itu menyodorkan segelas minumannya.
“Itu apa, Kak?”
“Susu jahe hangat.” Lagi-lagi, Rama menjawabnya dengan sangat santai.
“Kak Rama masih senang dengan minuman itu?” Ririn bertanya dengan polos. Ia menerima minumannya.
“Tentu,” jawab Rama sesaat sebelum menyeruput susu jahe hangatnya.
“Sudah kukatakan, aku tidak akan pernah melepaskan tempat ini, sekali pun kenangan yang ada di dalamnya. Termasuk minuman ini, yang pernah menghangatkan dua mahasiswa yang terguyur hujan, saat sedang bercengkrama di kursi taman.” Kali ini, nada bicaranya sedikit menggoda.
Ririn terdiam sesaat, lalu bibirnya tersenyum. Ia meminum perlahan susu jahe hangat di gelasnya.
Mereka menaiki angkutan umum tujuan Cipaganti dan berhenti tepat di depan gerbang kos tempat Ririn tinggal. Sesampainya di tempat kos, Rama langsung merebahkan diri di atas tempat tidur. Sementara, Ririn pergi ke dapur untuk membuatkan makanan. Terlihat raut semringah dari wajah laki-laki itu.
Baru saja selesai memasak, azan magrib berkumandang. Ririn langsung mengambil wudu dan menunaikan salat. Selesai salat, ia mengeluarkan sarung dari lemari, lalu keluar meninggalkan kamar agar Rama dapat menunaikan salatnya. Tidak lama setelahnya, Ririn menyajikan makan malam untuk mereka berdua.
“Apa Kak Hai tahu, kalau kakak sedang main ke Bandung?”
“Ya.” Rama menjawab dengan singkat sambil memainkan ponselnya. “Sam yang menyuruhku mampir kemari,” sambungnya.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Ya.” Lagi-lagi, pandangan Rama masih kepada ponselnya.
“Bagaimana dengan pekerjaan Kak Rama?” tanya Ririn seraya menyodorkan makanan.
“Tidak ada yang berbeda dan akan tetap sama sampai lima tahun ke depan.” Rama beranjak dari tempat tidur. Ia mematikan ponsel, lalu meletakkannya di atas bantal.
“Oh, ya.” Ririn mengambilkan lauk, lalu menaruhnya di piring Rama.
Mereka menikmati makan bersama. Suasana malam terasa sangat tenang. Ramai jalanan yang padat seolah menjadi nada pengiring di antara keduanya. Setelah selesai, Ririn kembali merapikan makanannya, lalu pergi ke dapur untuk mencuci piring-piring kotor yang baru saja digunakan. Sementara, Rama pergi menuju kamar mandi untuk mengambil wudu, karena waktu hampir memasuki isya.
Setelah keduanya menunaikan salat, Ririn menyalakan televisi untuk sekadar meramaikan ruangan berukuran empat kali lima meter itu. Pintu kamarnya pun dibiarkan terbuka supaya menghindari kesalahpahaman antara dirinya dengan penghuni kos yang lain. Sementara, di sudut ruangan, Rama terlihat tengah menyandarkan diri pada dinding kamar sambil menatap layar televisi. Kali ini, tanpa memainkan ponselnya.
“Malam Minggu cerah seperti ini, kamu hanya menghabiskannya dengan menonton televisi?” tanya Rama dengan nada santai.
“Mau bagaimana lagi? Tanpa izin Kak Hai, aku tidak bisa pergi ke luar,” jawab perempuan itu sambil menatap layar televisi. “Lagi pula, aku sudah terbiasa menghabiskan waktu seperti ini,” lanjut Ririn.
“Apa kamu tidak bosan? Setiap malam hanya menatap layar televisi?”