PENGHARAPAN

Estiana
Chapter #18

Keraguan

Seperti katamu, keraguanku kini menjadi ketakutanmu.

***

Jumat siang selepas jam mengajarnya selesai, Ririn pamit untuk pulang lebih awal. Ia merasa badannya sedikit menggigil, hingga mengharuskan Anisa dan ibu kos melarikannya ke rumah sakit. Ibu kos yang saat itu telah menganggap Ririn dan Anisa seperti anak sendiri, langsung mengurus administrasi pendaftaran pasien atas nama Riana Setiana.

Sementara, Anisa adalah teman satu kos, sekaligus teman sekelas Ririn semasa kuliah dulu. Setiap hari, mereka tinggal bersama, berbagi cerita seperti sebuah keluarga. Setelah mendapat ruangan, Ririn dibawa perawat untuk segera diberikan tindakan pertolongan pertama. Kini cairan infus telah mengalir ke dalam tubuhnya.

Setelah panasnya sedikit turun, Ririn meminta tolong kepada Anisa untuk mengabari Haidar tentang keadaannya.

Ririn: Assalamualaikum. [16.02]

Ririn: Maaf Kak, saya Anisa, teman kos Riana. Mau mengabari, Riana baru saja dilarikan ke rumah sakit, karena demam berdarah. [16.02]

Pesan tersebut langsung bertanda centang biru, tetapi tidak mendapatkan balasan atau pun panggilan telepon dari Haidar.

“Sudah terbaca, Rin, tetapi tidak ada balasan.” Anisa meletakkan ponsel Ririn di atas lemari, dekat tempat tidur.

“Tidak apa-apa, Nis. Mungkin Kak Hai sedang sibuk.”

Tringting.. tringting..

Anisa kembali meraih ponsel temannya, lalu membaca pesan Haidar.

Kak Haidar: Waalaikumsalam [16.06]

Kak Haidar: Terima kasih sudah membawanya ke rumah sakit. Kalau boleh tahu, Riana dirawat di rumah sakit mana dan kamar nomor berapa? [16.06]

 “Kak Haidar menanyakan nama rumah sakit dan nomor kamarnya, Rin,” ungkap Anisa kepada Ririn yang hampir tertidur.

“Oh, ya? Tolong beri tahu saja, Nis. Maaf merepotkan.”

Anisa membalas pesan Haidar dan memberi tahu tempat temannya dirawat. Lagi-lagi, pesan itu langsung bertanda centang biru. Namun, kali ini benar-benar tidak mendapatkan balasan.

“Sudah terbaca, tetapi tidak ada balasan.” Wajah Anisa sedikit murung.

“Tidak apa-apa. Aku mengerti, Kak Hai sedang sibuk dan jarak kami cukup jauh. Jadi, tidak mungkin dia terbang dari seberang hanya karena aku dirawat di sini.” Sekali lagi, Ririn meyakinkan Anisa tentang Haidar.

Sepanjang malam, Ririn ditemani ibu kos di dalam ruangan. Dini hari sekali, seorang laki-laki tiba-tiba muncul dan langsung meminta izin agar bergantian menjaga Ririn. Karena merasa mengenali laki-laki itu, ibu kos pun setuju dan menitipkan Ririn kepadanya.

Sekitar pukul enam, Ririn terbangun. Ia melihat seorang laki-laki telah berada di sampingnya. Wajah laki-laki itu tertidur di atas tangan Ririn yang tidak terpasang alat infus. Namun, ia tidak menemukan keberadaan ibu kos di dalam ruangan. Tidak lama kemudian, laki-laki itu terbangun dan keduanya saling bertatapan. Ririn sangat terkejut mendapati Rama berada di ruangan yang sama dan menemaninya.

“Syukurlah, kamu sudah sadar,” ujar seorang laki-laki dengan nada lembut.

“Emm. Mengapa kak Rama bisa berada di sini?” Ririn bertanya dengan penuh keheranan.

“Tentu bisa, tembam. Memangnya, apa yang tidak bisa untukmu?!” Nada bicara Rama mulai menggoda.

Ririn semakin terheran. Sementara, laki-laki itu tertawa kecil melihat raut wajah Ririn yang sedang kebingungan saat memikirkan maksud dari ucapan Rama.

“Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya bercanda.” Laki-laki itu masih menggapai tangan Ririn.

“Kemarin sore, Sam mengabariku bahwa kamu dilarikan ke rumah sakit. Lalu, dia memintaku segera menemuimu di sini dan mengambil tiket kereta jam malam agar lebih cepat sampai,” ungkap Rama.

Pertanyaan Ririn terjawab sudah. Ternyata, Haidar tidak sedang mengabaikannya. Justru, laki-laki lebih dari mengkhawatirkan perempuannya, hingga meminta Rama berangkat dari Tangerang menuju Bandung hanya untuk memastikan keadaannya di rumah sakit. Bibir Ririn tersenyum kecil.

“Padahal, tanpa dia meminta pun, aku sudah pasti akan menemuimu.” Rama melanjutkan pengungkapannya.

Seketika, mata Ririn beralih kepada laki-laki itu. “Maksud Kak Rama?” tanyanya dengan mata membulat.

Lagi-lagi, Rama tertawa. “Aku bercanda. Pipimu memerah, loh!” nadanya kembali menggoda.

“Ish. Apaan, Kak? Tidak lucu,” sedikit merajuk.

“Iya deh. Maaf. Kenapa bisa demam berdarah? Memangnya, kamu sudah pergi ke mana?” Rama bertanya dengan serius.

“Aku tidak pergi ke mana-mana, hanya ke sekolah,” jawabnya dengan polos.

“Mana mungkin tidak pergi ke mana-mana,” sekali lagi dengan serius.

“Iya. Kalau kakak tidak percaya, tanyakan saja pada Anisa.” Ririn menampakkan raut kesal, ia memalingkan wajahnya.

“Ya sudah. Kalau tidak mau cerita, tidak apa-apa. Ini, aku bawakan buah. Aku tidak tahu kamu suka yang mana. Jadi, aku membelinya beberapa.” Laki-laki itu mengeluarkan kantong berisi buah yang dibelinya saat akan berangkat ke Bandung.

Mendengar seseorang membawakannya makanan, Ririn kembali bersemangat dan menampakkan raut ramahnya.

“Aku suka semuanya, Kak. Minta tolong kupaskan, ya,” wajahnya tersenyum seraya merayu.

“Sudah kuduga. Pantas saja tembammu tidak surut. Ternyata, kamu banyak makan, ya.” Rama kembali menggodanya.

Lihat selengkapnya