Menetaplah bersamaku. Aku ingin menua bersama dalam istana bernama keluarga.
***
Surya menampakkan cahayanya. Angin semilir mengiring hawa sejuk di antara celah-celah kota. Langit biru terhampar luas, berselimut kabut tipis bersama awan putih selembut kapas. Kota kembang menjadi saksi harum terkikisnya rasa dari dua hati yang saling menjaga. Pagi itu, seseorang mengetuk pintu dengan cepat.
Toktoktok.. toktoktok..
Toktoktok.. toktoktok..
“Sebentar!” sahut seorang perempuan mendekat, berjalan cepat menuju pintu utama.
Dibukanya pintu itu dari dalam, tampak seorang laki-laki muncul tepat di hadapannya dengan wajah pucat. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Perempuan itu terkejut mendapati tamu di pagi buta. Ia segera membawanya masuk dan memberinya segelas air untuk sekadar menenangkan cemas di wajah laki-laki itu.
“Apa yang terjadi?” tanya Ririn dengan cemas.
“Di mana penghuni kos yang lain?” Laki-laki itu berbalik tanya tanpa jawaban. Pandangannya berkeliaran, memeriksa sudut ruangan.
“Ibu sedang berbelanja ke pasar. Sementara, Anisa masih belum terlihat keluar dari kamarnya. Mungkin, dia masih beristirahat.”
“Kakak kenapa? Jangan membuatku cemas seperti ini,” lanjut Ririn.
“Dengar, Dek. Kamu harus ikut denganku sekarang.” Rama menggenggam tangan perempuan itu.
“Ikut ke mana? Mengapa?” Ririn merasa takut akan keadaan yang menimpa adik iparnya. Di depan Rama, perempuan itu hampir menangis.
“Jangan menangis! Cepat ambil tasmu dan kita pergi sekarang.” Rama berusaha meyakinkan Ririn.
“Tetapi, ibu belum pulang. Aku harus pamit padanya.”
“Nanti saja di telepon. Sekarang, cepat ambil tas dan pakai jaketmu,” pinta Rama.
Ririn mengangguk. Ia segera mengambil tas, lalu pergi setelah mengunci pintu kamarnya. Keduanya menaiki angkutan umum dengan tujuan Kelapa. Hanya beberapa menit kemudian, perjalanan mereka terhenti dan sampai di tempat yang tidak asing bagi keduanya. Sementara, Ririn masih tidak mengetahui maksud dan tujuan Rama membawanya pergi dengan buru-buru.
Sekarang, mereka telah memasuki taman balai kota dan mengarah pada kursi tempat keduanya biasa bicara. Kali ini, Rama terlihat sedikit lebih tenang. Gugup di wajahnya mulai berkurang dan gemetarnya sudah hilang. Seperti biasa, mereka duduk bersampingan di kursi taman sambil menatap tinggi ke langit pagi.
“Sebenarnya, apa tujuan kakak membawaku kemari? Mengapa kita harus terburu-buru?” Ririn melontarkan pertanyaan atas rasa penasarannya.
Rama tidak menjawab. Ia masih saja memandangi langit biru dengan bisu. Sebenarnya, Ririn takut, jika ia terlalu mendesak menagihnya jawaban, laki-laki itu akan marah atau justru menghindar dari pertentangan kata di antara keduanya. Meskipun begitu, Ririn tetap harus mengetahui maksud dan tujuan Rama membawanya pergi pagi sekali.
“Kak Rama?”
“Ya?” jawab Rama tanpa memalingkan pandangannya.
“Mengapa kakak membawaku kemari? Mengapa tiba-tiba dan sedini ini?” Ririn menantikan jawaban dengan memandang wajah laki-laki itu.
“Jika kuberitahu, kamu pasti akan meninggalkanku,” sekali lagi, tanpa memalingkan pandangannya.