Diam tidak akan menyelesaikan persoalan. Pergi bukanlah solusi. Bicara atau menghilang selamanya, lalu kita akan selesai.
***
Pagi sekali, Haidar telah selesai merapikan kamar Ririn dan mengepak ranselnya. Lalu, ia pergi ke luar untuk membeli sarapan dan kembali dengan membawa pulang bubur serta dua porsi ketupat tahu. Kemudian, laki-laki itu menyodorkan satu ketupat tahu di atas meja di ruang tengah. Ia bermaksud agar adik laki-lakinya mendapatkan sarapan yang sama.
“Dik Ririn? Bangun, Dik. Kakak membawakan bubur.”
Haidar menyiapkan sarapan itu ke dalam piring. Lalu, ia membantu Ririn bangun dari tidurnya. Ia juga mengganjalkan bantal tepat di belakang punggung perempuannya.
“Terima kasih, Kak,” ucap Ririn dengan lirih.
“Iya. Kakak suapi makannya, ya?”
Ririn mengangguk.
Haidar menyuapi perempuannya dengan lembut. Perlahan, Ririn menelan bubur demi bubur yang masuk ke mulutnya. Tiba-tiba, perempuan itu teringat pada Rama yang sedari kemarin tidak ada terlihat sedetik pun.
“Kak Hai?”
“Iya? Ada apa?” tanya Haidar.
“Bagaimana keadaan Kak Rama?” tanya Ririn dengan wajah tanpa berdosa.
Seketika, Haidar menjadi diam. Wajahnya sedikit murung.
“Emm. Maaf, Kak. Aku salah bicara, ya?”
“Tidak. Kamu tidak salah. Rama baik-baik saja. Dia ada di ruang tengah, sedang sarapan.”
“Kak Hai yang membelikannya?”
“Ya. Aku pikir membelinya sekalian untuk tiga orang.”
Ririn tersenyum mendengar pengungkapan Haidar. “Terima kasih, Kak.”
“Ya. Ayo, dilanjutkan sarapannya.” Haidar kembali menyuapi Ririn.
Waktu menunjukkan pukul delapan. Setelah mereka menyelesaikan sarapan, ketiganya bergegas meninggalkan kamar dan berpamitan kepada ibu kos. Sekaligus, Haidar mengucapkan terima kasih kepada ibu kos karena telah menerima Ririn dengan sangat baik sebagai anak kos di tempatnya. Bahkan, ibu telah menganggap Ririn seperti anaknya sendiri. Setelah itu, ketiganya berangkat menuju stasiun Bandung dengan menaiki taksi online.
**
Pukul sembilan malam, mereka telah sampai di stasiun Surabaya dan baru tiba di rumah sekitar pukul sepuluh. Sesampainya di rumah, ayah dan ibu menyambut kedatangan anak dan menantunya dengan hangat. Haidar langsung memapah Ririn menuju kamar agar beristirahat. Setelah menidurkannya, Haidar kembali ke ruang keluarga untuk membicarakan keputusannya kepada ayah dan ibu tentang membawa Ririn ke seberang.
“Jadi, kamu akan tetap membawanya, Hai?” tanya ayah memulai percakapan.
“Apa tidak apa-apa? Di sana kalian tidak ada saudara seorang pun,” terang ibu dengan cemas.
“Kami akan baik-baik saja, Bu, Yah.”
“Lagi pula, Hai justru lebih khawatir kalau kami tinggal terpisah jarak seperti sebelumnya.”
Mendengar percakapan keluarga malam itu, membuat Rama kembali merasakan cemas yang luar biasa. Ketakutan akan kepergian perempuan yang dicintainya. Bahkan, perasaan itu kini lebih kuat dari sebelumnya. Jika berpikir untuk ikut ke seberang, hal itu sangat tidak mungkin. Sebab, Rama masih terikat kontrak hingga beberapa tahun ke depan dengan perusahaan yang memberinya beasiswa saat kuliah. Rama mencari cara agar Haidar batal membawa Ririn pergi darinya.
Sesekali, Haidar melirik ke arah pintu kamar adik laki-lakinya. Ibu memerhatikan tatapan Haidar yang tidak seperti biasa.