PENGHARAPAN

Estiana
Chapter #22

Perempuanku

Izinkan aku memintamu untuk yang terakhir. Sebelum waktu kembali membawamu pergi.

***

Rama dan keenam temannya menjalankan aktivitas seperti biasa. Mereka melaksanakan kewajibannya bekerja. Setiap satu pekan, mereka mendapat pergantian sif kerja. Suatu hari, ketika semua teman-temannya pergi menghadiri perayaan kesuksesan proyek besar, Rama memilih untuk tetap tinggal. Ia mengatakan dirinya sedang kurang enak badan. Akhirnya, teman-teman Rama membiarkannya sendirian di asrama.

Sementara itu, suasana perayaan terbilang cukup ramai. Semua orang datang dengan bergaya formal, tetapi tetap santai. Penataan meja dengan pola resmi, namun tetap friendly. Alunan musik modern mengiringi tawa di wajah mereka. Ditambah pemandangan kolam biru menjadikan setiap mata yang memandang merasa segar.

Ketika ketua perusahaan menyampaikan sambutan, ponsel Fikri bergetar cukup panjang. Rupanya, panggilan telepon muncul dengan nama Rama. Fikri mencoba menerima teleponnya, tetapi suara Rama kalah oleh bising ruangan. Akhirnya, Fikri mengakhiri telepon, lalu mengirimkan sebuah pesan.

Fikri: Di sini sangat bising, suaramu tidak terdengar. Kamu baik-baik saja? Kami akan pulang pukul sembilan. [13.46]

Rama membaca pesan Fikri tanpa mengirimkan balasan.

**

Nyatanya, kejanggalan muncul setelah hari perayaan itu. Sikap Rama mulai terlihat aneh bagi teman-temannya. Ia mulai jarang ikut berkumpul ketika hari libur dan lebih sering mengunci diri di dalam kamar. Pernah sesekali, Hafiz memergokinya sedang tidur di sofa ruang tengah. Mereka mengira, malam itu Rama hanya sedang ketiduran dan tidak sempat pindah ke kamar. Ternyata, malam berikutnya pun terulang.

Keesokan harinya, Rama terlihat begitu bersemangat membuat sup di dapur. Lagi-lagi, teman-temannya mengira, Rama mungkin hanya sedang ingin membuat makanan hangat di pagi buta. Namun, yang paling menganehkan adalah ketika Fikri akan meminjam sepatu ke kamar Rama, ternyata pintu kamarnya terkunci. Padahal, pintu kamar Rama biasanya selalu dibiarkan terbuka kecuali malam.

“Akhir-akhir ini, Rama terlihat aneh,” celetuk Hafiz dengan polos.

“Hush. Jangan bicara seperti itu, Fiz. Nanti dia tersinggung,” timbal Fikri yang sedang mengikatkan tali sepatu.

“Hafiz benar, Fik. Dia seperti sedang merahasiakan sesuatu,” seru Helmi.

“Sudahlah. Mungkin hanya perasaan kalian saja. Aku berangkat dulu,” sekali lagi timbal Fikri seraya berjalan ke luar asrama.

Semakin hari, sikap Rama semakin menunjukkan kejanggalan. Sebenarnya, Fikri telah menyadari hal itu sejak Rama meneleponnya di hari undangan ketua perusahaan. Hingga sekarang, Fikri masih membiarkan kejanggalan itu terjadi. Namun, ia tidak pernah melewatkan pantauannya.

Jumat sore, sepulang kerja, Rama datang dengan wajah berseri-seri, tidak seperti biasanya. Ia langsung menuju kamarnya, lalu mengunci pintu. Beberapa menit kemudian, Rama keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Dengan telaten, laki-laki itu membuatkan satu porsi bubur.

“Kali ini, dia memasak bubur,” ungkap Helmi kepada temannya ketika sedang berkumpul di ruang tengah.

“Biarkan saja. Apa salahnya dengan seseorang yang memasak bubur?” timbal Fikri dengan santai.

“Tapi ini aneh, Fik. Sejak kapan orang-orang di sini memasak bubur di jam sore sepulang kerja?” ujar Helmi dengan penasaran.

“Mungkin, dia hanya sedang ingin memakan makanan lembut kali ini. Iya kan?” Fikri melempar tanya kepada Hafiz yang sedang termenung.

“Oh, ya. Mungkin saja, Hel,” jawab Hafiz dengan ragu.

Tidak lama setelahnya, waktu menunjukkan azan magrib. ketujuh laki-laki itu berangkat untuk salat berjamaah di masjid dekat asrama. Mereka berdiam hingga bada isya. Sepulang dari masjid, laki-laki itu berkumpul di ruang tengah untuk mengerjakan tugas kerjanya.

Pukul sepuluh, Wandy dan Rendy datang dengan membawa martabak untuk tujuh orang. Mereka juga menawarkan minuman jahe kepada teman-temannya. Tanpa basa-basi, Helmi langsung menyerbu potongan martabak yang tersaji, tanpa terkecuali Hafiz. Sementara, Fikri masih melanjutkan pengerjaan tugasnya beberapa saat, sebelum akhirnya ikut tempur menyerbu martabak yang dibawakan temannya.

“Kamu tidak ikut makan, Ram?” tanya Rendy dengan martabak di tangannya.

“Emm. Tidak, Ren. Aku masih kenyang,” jawab Rama yang masih berada di depan layar laptop. Rama dengan cepat menyelesaikan tugasnya, lalu kembali ke kamar lebih awal.

Pukul sebelas, semua orang beralih ke kamar masing-masing, lalu mengunci pintu. Hanya berselang dua puluh menit, Rama kembali ke ruang tengah dengan membawa bantal dan jaket. Fikri melihat hal itu ketika akan mengambil air minum, tetapi ia urung. Fikri menutup kembali pintu kamarnya dan melupakan perasaan hausnya malam itu.

Lihat selengkapnya