Aku telah memiliki ragamu, tetapi tidak dengan hatimu.
***
Langit Tangerang memancarkan jingganya. Cahaya menerobos celah-celah jendela, menambah kilauan emas di jari manis wanita berkerudung biru. Aroma kopi tercium lebih pekat kali ini. Mungkin, seseorang sedang tidak ingin menikmati manis yang berujung kepahitan. Mungkin, lebih baik baginya merasakan pahitnya kopi sedari awal.
“Sekarang, semuanya telah kuceritakan padamu.” Fikri menatap kilauan gelas kaca di genggamannya.
Seketika, suasana menjadi sangat hening sesaat setelah Fikri berhenti dari ceritanya. Wanita itu merasakan bingung atas pernyataan yang baru saja ia dengar. Semua seakan bertolak dengan cerita yang ia terima dari laki-lakinya.
“Lalu, bagaimana dengan perempuan itu, sekarang?”
Wanita itu berharap, jawaban Fikri kali ini akan sesuai dengan apa yang dipercayainya. Fikri tertegun. Ia merasa bingung harus menjelaskannya seperti apa pada wanita yang sedang menginterogasinya. Namun ia sadar, cepat atau lambat, wanita itu harus mengetahui kebenarannya. Dalam pikirnya, keputusan ini akan sedikit menebus kesalahannya di masa lalu.
Fikri meneguk kopi susu di gelasnya. Ia memalingkan pandangan pada jendela tepat di sampingnya. Lalu, wajahnya mulai menunduk, mengarah pada kepalan tangan di atas meja.
**
Keesokan harinya, Rama mendapati panggilan telepon dari rumah sakit tempat perempuannya dirawat. Tanpa sepatah kata, ia segera pergi dengan mengendarai sepeda motor. Mengetahui hal itu, Helmi dan kelima teman asramanya langsung mengikuti Rama dengan berboncengan. Sesampainya di rumah sakit, mereka mendapati Rama tengah menangis histeris di dalam ruangan. Ia mengepal secarik kertas yang akhirnya dilayangkannya ke lantai.
Ada terima kasih yang tidak bisa kuungkapkan alasannya untuk apa. Terima kasih, Kak Rama Begitulah kalimat yang tertulis dalam secarik kertas lusuh.
Fikri melihat jelas raut wajah penuh penyesalan dalam sorot mata Rama.
“Perempuan itu telah tiada. Dia terlambat menerima penanganan dokter,” ujar seorang perawat yang ditemuinya pagi itu.
Mata Fikri berkaca, mengingat peristiwa paling memilukan baginya dan bagi keenam teman asramanya.
“Aaaaaargh!” Rama menjerit keras. Perasaannya terpukul hebat.
“Katamu, kamu tidak akan meninggalkanku. Mengapa sekarang kamu mengingkarinya?!” Emosi Rama melonjak di depan perempuan yang terbaring pucat.
Di hadapan teman asramanya, Rama sempat ingin membawa perempuan itu pergi. Namun, keenam laki-laki dan pihak rumah sakit menahannya. Hafiz bahkan meninjunya agar Rama sadar dan menerima kenyataan.