PENGHARAPAN

Estiana
Chapter #25

Menuju Orbit

Cahaya itu pernah redup, namun tak benar-benar padam. Jagalah sinarnya agar ia tetap terang, hingga bayangmu tercatat dalam keabadian.

***

Langit kota kembang saat itu benar-benar hitam, hanya ada satu bintang dengan sinar paling terang. Hawa dingin berhembus kencang, menerjang dadanya dalam kesunyian. Laki-laki itu masih terus berjalan dengan langkah patah, menapaki anak demi anak tangga jembatan penyeberangan orang. Dari atas jembatan, semua terlihat kecil, tanpa terkecuali kursi panjang di dalam taman. Kursi yang berada di sudut taman balai kota, tepat di dekat jalan yang ramai. Seseorang memandanginya tanpa harapan. Laki-laki itu menaikkan kakinya di antara besi jembatan, menanggalkan kedua sepatunya di belakang, lalu mulai menutup matanya perlahan.

“Hentikan!” seru seorang laki-laki dari ujung jembatan. Dengan sekuat tenaga, Fikri berlari menaiki anak tangga. Jemarinya segera menggenggam erat tangan laki-laki yang mungkin akan menjatuhkan diri di antara jalanan yang lengang.

“Apa yang kamu pikirkan, Ram?! Keputusan ini tidak akan mengembalikan keadaan!”

“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Fik. Penyesalan ini seakan membunuhku secara perlahan. Mungkin, akan lebih baik jika aku mengikuti kepergiannya. Dengan begitu, kami tidak akan lagi terpisah jarak seperti sekarang.”

“Aku mengerti. Tetapi, keputusan ini bukanlah solusi. Dia akan sedih melihatmu seperti ini.”

Rama menurunkan pijakannya. Ia mulai berbalik dan bersandar pada dinding jembatan. Kedua tangannya bertopang di atas kepalanya, menjadikan wajahnya menunduk ke lantai. Sementara, Fikri masih terus menunjukkan simpati kepada teman asramanya.

“Lalu, aku harus bagaimana sekarang?” tanya Rama dengan murung.

“Ikhlaskan, Ram. Biarkan dia tenang dengan kepergiannya. Manusia tidak bisa melawan takdir,” terang Fikri sembari mengusap di kedua pundak Rama.

Rama menangis, meratapi nasibnya. Malam itu, keduanya saling bersandar di tengah jembatan. Fikri mendekap temannya dengan hangat. Kali ini, bulan bersinar cukup redup. Mungkin, penyebabnya karena seseorang sedang dilanda pilu penuh cemas. Semakin larut, keadaan jalan semakin lengang.

Minggu pagi sekitar pukul empat, Rama dan Fikri beranjak menuju masjid yang berada di tepi jembatan, tepatnya di seberang taman balai kota. Mereka membersihkan diri, lalu mengambil wudu dan menunggu masuk waktu subuh. Keduanya melaksanakan salat berjamaah. Dalam doanya, Rama tidak henti menitikkan air mata. Selesai salat, keduanya mengarah pada sebuah terminal di daerah Leuwipanjang menggunakan angkutan kota. Mereka menaiki bus dengan tujuan Tangerang.

**

Setelah kepulangannya dari Bandung, Rama jatuh sakit. Kondisinya kian hari tidak menunjukkan kepulihan. Teman-temannya segera membawa Rama ke rumah sakit hingga mengharuskannya dirawat beberapa hari. Keenam laki-laki itu sepakat untuk saling bergantian menjaga Rama setiap malam.

Saat itu, Sabtu sore menjelang petang, ketika Fikri akan bergantian menjaga Rama, ia melihat seorang perempuan yang tidak asing perawakan dan wajahnya. Perempuan itu berkerudung biru, mengenakan gamis navy, persis seperti perempuan yang sedang menagihnya jawaban. Menurut perawat yang menanganinya, perempuan itu adalah seseorang yang tengah kehilangan ingatan dan belum diketahui keberadaan keluarganya. Akhirnya, pihak rumah sakit setuju untuk merawatnya, hingga ingatannya kembali pulih.

Sejak hari itu, Fikri lebih sering menemuinya karena rasa iba. Setelah berangsur keadaannya membaik, perempuan itu mulai melamar pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang seorang diri. Fikri bermaksud menawarinya bekerja di sebuah kafe sederhana milik ayahnya. Seiring dengan itu pula, keadaan Rama mulai membaik.

**

Sabtu selepas asar, kafe milik Fikri sudah biasa menjadi sangat ramai hingga larut malam. Pengunjungnya didominasi pasangan muda-mudi yang ingin menghabiskan malam Minggu dengan santai, setelah satu pekan berkutat dengan rutinitas harian.

Helmi sengaja mengajak Rama bergabung dengannya sore itu untuk menikmati secangkir kopi dengan roti panggang. Rama pun enggan menolak ajakan temannya. Akhirnya, ia memutuskan pergi ke KFS atau Kafe Fikri Setiawan. Mereka sengaja memilih meja yang berada di sudut ruangan paling kanan agar lebih leluasa untuk bergurau hingga sangat ‘gila’. Itulah alasan yang dilontarkan Helmi, setiap kali Hafiz menanyai pilihannya pada meja di sudut ruangan.

Keenam laki-laki itu saling bergurau, hingga membuat Rama ikut tertawa. Tiba-tiba, tawa Rama terhenti. Sorot matanya mendapati seorang pelayan yang menghampirinya, menyajikan kopi di atas meja. Setelah selesai, seseorang itu kembali mengambil pesanan yang lain untuk disajikan pada meja pelanggan.

“Hai! Sudah menunggu lama?” seru Fikri yang baru muncul dari lobi kafe.

“Eh Ram, tumben Sabtu ini mau diajak nongkrong? Biasanya dari pagi sudah lepas landas dari Tangerang,” tanya Fikri seraya menggodanya.

Lihat selengkapnya