Senyummu adalah candu dan bahagiamu menjadi tujuanku.
***
Seorang laki-laki menempuh pendidikan vokasi di politeknik kota Tangerang. Ia mengambil keahlian teknik mesin untuk tiga tahun. Saat itu, perkuliahannya baru menginjak dua bulan. Suasana kelas selalu ramai setiap kali pergantian jam mata kuliah. Ruangan berisi barisan meja dan kursi itu hanya didatangi sekawanan laki-laki muda, tanpa wanita.
“Ram, pekan ini kamu ikut touring?” teriak Fikri dari sudut ruangan kelas.
“Tidak, Fik. Aku akan menata jadwal kuliah dan menghabiskan seharian di asrama,” timbal Rama sambil memasukkan buku ke dalam tas.
“Alah. Bilang saja kamu ingin mengobrol dengannya seharian. Iya, kan?!” goda Helmi yang muncul dari baris kursi belakang.
“Eeeh, sudahlah! Kalian jangan menggodanya seperti itu. Dia sudah cukup dewasa untuk melakukannya. Betul kan, Fiz?” Fikri mencoba berkompromi dengan Hafiz yang duduk tepat di kursi paling depan. Sementara, Hafiz masih melongo, mencari jawaban atas seruan Fikri kepadanya.
**
Dalam asrama, tinggal tujuh orang laki-laki yang memiliki tujuan sama, yaitu lulus tepat waktu, lalu menggapai cita-cita. Masing-masing dari mereka adalah pendatang yang berasal dari kota hingga provinsi seberang. Rama Pramayudha, laki-laki itu berasal dari Surabaya.
Perawakannya yang tegap dengan tinggi ideal, tidak cukup memberi alasan untuk Rama menjadika seorang pribadi dengan percaya diri tinggi, setiap kali berurusan dengan makhluk bernama wanita. Meskipun begitu, bukan berarti Rama tumbuh menjadi seseorang yang anti wanita. Sebab, saat ini pun ia sedang menjalin kedekatan dengan perempuan yang dikenalnya pada Sabtu lalu.
“Ram, aku dan Rendy akan pergi membeli makan. Kamu mau titip sekalian?” tanya Helmi yang berdiri di depan pintu kamar Rama.
“Tidak usah, Hel. Aku belum lapar,” jawabnya singkat, saat didapati sedang berbaring di atas tempat tidur dengan ponsel di tangannya.
Helmi dan Rendy pergi dengan menaiki sepeda motor. Keduanya mengarah pada warung nasi langganan yang berada di samping kampus tempat mereka belajar. Sementara, Ramdan yang baru bangun dari tidurnya langsung berlari menuju teras depan, bermaksud mengejar kepergian Helmi dan Rendy.
“Yah. Padahal, aku mau titip juga,” gerutu Ramdan dengan ekspresi sesal.
Hafiz memasuki halaman asrama dari luar gerbang. Ia mendapati Ramdan yang sedang berjalan lemas. Laki-laki itu mempercepat langkahnya, hingga keduanya beriringan.
“Kenapa, Dan? Kok wajahnya ditekuk seperti itu?” tanya Hafiz dengan penasaran.
Keduanya berjalan memasuki pintu utama. Hafiz masih menampakkan ekspresi bingung pada keadaan yang menimpa temannya.
“Ramdan kesiangan lagi. Jadi, dia tidak sempat titip beli makan,” terang Fikri yang sedang menatap layar laptop.
“Oalah. Makanya jangan bergadang, supaya subuhnya tidak kesiangan!” seru Hafiz dengan nada menggoda.
Sementara Ramdan kembali ke kamarnya dengan wajah sesal, Rama masih terlihat asik dengan ponselnya. Laki-laki itu tengah berkirim pesan dengan seseorang, yang berhasil membuat rasa laparnya tertahan hingga siang.
Ririn: Tumben, Sabtu ini tidak ada acara pergi? [08.54]