Kalimatmu menyentuh palung di hatiku. Aku harus berani atau rela tersaingi.
***
Waktu berlalu begitu cepat, Rama telah selesai dari masa magangnya. Hari ini, tepatnya Sabtu, 20 April 2019, waktu tersisa enam bulan menuju sidang. Rama kembali muncul dengan membalas Instagram story perempuan yang telah dikenalnya hampir tiga tahun.
@rama_pram: Gendutt (emoji tertawa)
Perempuan itu membaca pesannya, lalu mengirimkan balasan emoji. Kali ini, pesan Ririn hanya terbaca tanpa dikirimkan balasan ulang. Ririn meletakkan kembali ponselnya dan mulai membuka lembaran demi lembaran buku sastra di atas meja.
Dalam sastra, pemilihan diksi yang tepat dapat menjadikan suatu karya lebih bermakna, serta menambah nilai estetiknya. Ia menyadari bahwa, dalam berkarya lebih utama mengedepankan kualitas dibanding kuantitas. Sabtu sore, ia akhiri penjelajahannya dengan membuka sebuah novel remaja yang baru dibacanya tiga bab pertama.
Minggu pagi sekali, ponselnya telah mendapati sebuah pesan Whatsapp dari seseorang yang tidak asing namanya, Rama Pramayudha. Laki-laki itu sama sekali tidak berubah sejak dua tahun terakhir. Ia masih senang meminta temu kepada Ririn setiap tiga bulan pada Sabtu siang. Namun, kali ini pertemuannya beralih menjadi Minggu siang.
**
Hari itu, udara kota kembang terasa lebih sejuk dari biasanya. Mungkin, penyebabnya karena langit sedang terhampar awan cukup tebal. Pancaran sinar mentari hanya sedikit yang menerobos celah di antara barisan awan yang tenang. Meskipun begitu, keadaan jalan tidak sedikit pun menjadi lengang. Lalu lintas kota selalu padat setiap pekan.
‘Selamat Hari Kartini’, begitulah kalimat yang membanjiri beranda Instagram hingga Whatsapp story-nya. Seorang perempuan bergamis navy dengan kerudung biru langit yang dikenakannya, semakin menampakkan khas kesederhanaan. Sepatu berhak datar, tidak sedikit pun menambah tinggi di tubuhnya yang mungil. Perempuan itu sesekali melirik jam di layar ponselnya, lalu matanya mulai berlarian, memeriksa taman sekitar.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Ririn dengan tatapan kaku. Bibirnya tersenyum malu.
“Maaf sudah membuat menunggu lama,” ungkap Rama.
“Tidak apa-apa,” timbal Ririn seraya menggeser duduknya.
Riana Setiana, perempuan itu selalu bersikap lembut kepada siapa saja yang ditemuinya. Ia tidak suka membesar-besarkan masalah, yang justru akan memperpanjang urusannya. Perempuan itu lebih senang mengalah untuk setiap benih pertentangan kata.
Kini, keduanya telah berada duduk bersampingan di kursi yang sama. Tetapi, ada yang tidak biasa dengan pertemuannya kali ini. Rama terdengar sedikit gugup, hingga suasana itu menjadi hening beberapa saat. Lalu, Ririn berinisiatif menciptakan pembicaraan untuk sekadar memecahkan kegugupan Rama.
“Bagaimana dengan tugas akhir Kak Rama?”
“Emm. Masih revisi,” jawabnya dengan gugup.
“Semangat, Kak! Selalu jaga fokus dan kesehatannya,” seru perempuan itu seraya menolehkan pandangannya sesaat sambil tersenyum.
“Ya,” jawab Rama singkat. Kali ini benar-benar terdengar sangat gugup.
Pukul dua belas, Rama masih terlihat diam. Ririn mengajaknya beralih ke masjid yang berada di seberang taman untuk menunaikan salat. Dalam salatnya, laki-laki itu terlihat tengah memanjatkan doa cukup panjang. Sementara, Ririn masih berada di lantai dua. Perempuan itu tengah melipat mukena yang baru saja dikenakannya.
Saat Ririn menuruni anak tangga, Rama terlihat sudah menunggunya di pelataran. Beberapa kali, laki-laki itu menghidupkan layar ponselnya, lalu mematikannya kembali. Ririn menghampiri Rama dan mulai mengenakan sepatu.
“Ada apa, Kak?”
“Eh? Tidak ada. Kita kembali ke taman, ya. Ada yang ingin aku bicarakan,” pinta Rama dengan ragu.
“Boleh. Kebetulan, aku ingin cerita dan meminta pendapat Kak Rama,” jawab perempuan itu dengan semangat.