Jalanmu sedang dimulai, ia masih sangat panjang dan terjal.
***
Siang itu, matahari menghantarkan sengatnya. Suhu ruangan cukup membuat mahasiswa dan dosen mengucurkan keringat. Pukul dua belas lebih lima menit, waktunya istirahat. Sebenarnya, waktu istirahat tepat pukul dua belas. Namun, selalu ada alasan untuk melebihi waktu keluar kelas. Tanpa menunggu lama, mahasiswa langsung berpergian hingga meyisakan beberapa orang dalam kelas.
Ririn sedang memasukkan buku ke dalam tas, lalu meraih jaket dan melipatnya. Sementara, Dila yang baru selesai menjadi presenter hari ini, datang dari arah depan menuju kursi, tepat di samping temannya.
“Rin, aku rasa, kamu dan Rama sudah saling mengenal cukup lama.”
“Ya, Dil. Sejak aku SMA. Dan sekarang, aku sudah kuliah semester empat.”
“Mengapa kalian tidak mengikat hubungan? Lagi pula, sepertinya dia benar-benar serius padamu,” terang Dila sambil memajukan wajahnya sedikit mendekat.
“Aku tidak bisa. Tiga bulan lagi, dia akan menjalani sidang tugas akhir. Dia mungkin akan disibukkan sekali karenanya.”
“Tetapi, keputusanmu kemarin mungkin akan membuatnya berpikir, bahwa kamu tidak memiliki perasaan yang sama dengannya.”
“Aku hanya khawatir fokusnya akan terbagi, jika aku menerimanya kemarin. Aku mau melihatnya sukses dalam sidang dan cita-citanya.”
“Bukankah kamu takut perpisahan?”
Ririn terdiam sejenak.
“Aku takut pertengkaran. Aku takut jika memulainya sekarang, itu hanya akan bertahan sementara. Lagi pula, aku trauma dengan kisah teman SMP-ku yang hanya dimanfaatkan uangnya. Mereka banyak bertengkar, dan temanku sering menangis karena salah paham,” ungkap Ririn.
“Pada dasarnya, setiap orang sudah ditetapkan takdirnya. Bahkan, tawa dan air matanya. Semua itu sudah digariskan dan ditakar sesuai kemampuan hamba-Nya. Kamu tidak bisa menyamakan takdirmu dengan orang lain. Kamu harus bisa memperjuangkan takdirmu sendiri.”
“Ya, Dil. Akan kupertimbangkan.”
Ririn dan Dila keluar meninggalkan kelas. Keduanya mengarah pada masjid kampus yang berada di lantai satu. Mereka mengikuti salat zuhur berjamaah. Selesai salat, keduanya masih memiliki waktu kosong hingga jam mata kuliah berikutnya.
Ririn mengajak Dila membeli es krim di kantin gedung sebelah. Kedua perempuan itu memilih es krim cokelat sebagai varian favoritnya. Lalu, mereka memilih kursi panjang yang mengarah pada jendela samping gedung. Dilihatnya dedaunan hijau melambai-lambai, terbelai angin dengan lembut. Udara teduh menjadikan suasana kantin cukup sejuk.
“Dil, sepertinya, aku sudah putuskan.”
“Apa?” tanya Dila dengan waspada.
“Aku akan menghentikan komunikasiku dengannya. Aku tidak ingin berlama-lama berada dalam penyesalan. Aku takut terkekang. Aku tidak ingin menjadi korban seperti yang lain,” ungkap Ririn.
“Kamu sedang berada di jalan yang salah, Rin. Keputusan itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Saat ini, jalanmu sedang dimulai, ia masih sangat panjang dan terjal. Kamu harus bisa melewatinya, bukan menghindarinya,” terang Dila.
Mendengar kalimat Dila, membuat Ririn harus mempertimbangkan kembali keputusannya. Pukul satu, mereka kembali memasuki kelas untuk mengikuti mata kuliah terakhir.
**
Harum khas kertas tercium kuat di dalam ruangan. Kumpulan ilmu berjajar, tertata rapi membentuk barisan. Sang kepala buku masih setia menatap layar komputer di depannya. Di sela tugasnya, Bapak kembali membaca halaman yang ditandainya dengan pita biru.
Sementara, di sudut ruangan dekat etalase sastra, seorang perempuan tengah duduk dengan laptop yang dibiarkannya menyala. Layarnya menampilkan lembaran dokumen putih dan bersih, tanpa ada titik dan koma. Pandangannya mengarah pada jajaran skripsi yang terpampang di etalase, tepat di depannya.
“Apa sikapku sebegitu keterlaluan? Aku hanya tidak ingin menambah beban pikiranmu di momen yang sangat menentukan itu,” gumam Ririn di dalam hati.
**
“Aku takut, Dil. Seseorang akan berubah setelah ia mendapatkan yang ia inginkan,” ungkap Ririn dengan polos.
“Tidak semua laki-laki itu sama, Rin. Kamu hanya perlu menemukan orang yang tepat.”
“Jangan biarkan ketakutan menghalangi langkahmu ke depan,” tambah Dila saat menunggu azan asar selepas kelas selesai.
Ririn hanya diam.
“Ayo, ambil wudu! Sebelum antriannya semakin panjang,” seru Dila seraya beranjak dari duduknya.
“Ya,” sahut Ririn ikut beranjak.
Riana Setiana, baru saja langkahnya terhitung beberapa ubin lantai, seorang laki-laki muda menyeru, menghentikan perpindahannya. Laki-laki itu terlihat merapikan rambutnya yang setengah basah setelah wudu.
“Mbak Ririn!”