PENGHARAPAN

Estiana
Chapter #5

Salah Paham

Tidak setiap yang tampak benar-benar menjelaskan keadaan. Terkadang, ia memerlukan kalimat untuk sekadar menjawab dugaan.

***

Ririn: Rif? [14.01]

Ririn: Hari ini jadi, kan? [14.01]

Sabtu siang, seorang perempuan tengah duduk di kursi teras depan dengan buku di tangannya. Ia ditemani secangkir minuman hangat di atas meja. Matanya sesekali melirik layar ponsel yang dibiarkannya menyala. Raut wajahnya terlihat semakin gelisah, ketika mendapati jam di ponselnya menunjukkan pukul dua.

Setelah beberapa lama, seseorang muncul dengan sepeda motornya, berhenti tepat di depan gerbang kos perempuan bernama Riana Setiana. Tanpa membunyikan klakson, Ririn sudah datang dan langsung membukakan pintu gerbang. Wajahnya tersenyum. Gelisahnya sedikit berkurang.

Assalamualaikum”.

Waalaikumsalam”.

Seorang laki-laki segera memarkirkan sepeda motornya, lalu menggapai kursi yang berada di samping kiri meja. Kini, keduanya tengah duduk bersampingan, mengapit meja berbentuk lingkaran.

“Ayo mulai menulis!” seru Arif seraya membuka layar laptopnya.

Laki-laki itu terlihat sangat bersemangat. Wajahnya semringah ketika mendapati layar laptopnya mulai menyala. Kedua tangannya beradu, menyatakan jemarinya telah siap mengetikkan seberkas cerita. Arif Rian adalah mahasiswa tingkat lima yang mengikuti program studi Administrasi Publik. Meskipun begitu, laki-laki yang berasal dari Sukabumi itu sangat menggemari sastra dan senang menulis karya.

Sementara, perempuan yang akrab disapa Ririn tampak tengah dirundung dilema. Wajahnya sedikit murung. Jemarinya terlihat sibuk menggapai sesuatu yang tidak tentu.

“Ada apa?” tanya Arif.

“Emm__.” Ririn mulai mencari kalimat perawalan. Berangkat dari kedilemaan antara yakin dan tidak, Ririn mengungkapkan kegundahannya kepada Arif.

”Menurut Arif, sehumor-humornya laki-laki, sampai di mana batas definisi bercanda yang dimaknai laki-laki kepada perempuan?” tanya Ririn dengan ragu.

“Emm. Pertanyaan kamu terlalu sulit Rin, seperti soal UAS.”

Arif mencoba mencairkan suasana dengan tertawa. Tampaknya, laki-laki itu memang penuh selera humor. Ririn ikut tertawa kecil, lalu menimpali Arif yang sedari tadi tangannya tidak lepas dari keyboard laptop.

“Boleh open book kalau sulit,” timbal Ririn menirukan kalimat yang pernah ditemuinya pada lembar soal UAS gasal.

“Bercanda ya_, tidak ada batasnya,” jawab Arif sebelum tertawa. Kali ini benar-benar lepas. Arif menutupkan layar laptopnya dan melanjutkan memberi jawaban.

“Perihal masa depan, jodoh dan sebagainya, sepertinya, itu lebih banyak dibicarakan atau dibahas dalam konteks serius. Bukan bahan bercandaan. Siapa sih? Doi yang tak kasat mata itu?” Antara bertanya atau sekadar menggoda temannya, Arif kemudian menjangkau gelas kopi dengan santai.

“Doi tak kasat mata, apaan?!” balas Ririn dengan tersenyum, lalu meraih gelasnya.

Yeh. Lagian kamu ada-ada saja.”

Ririn meletakkan kembali gelas, lalu meraih ponselnya di dalam tas. Perempuan itu menunjukkan sebuah histori percakapan kepada Arif.

“Menurut pandangan Arif, bagaimana?”

Sejenak, laki-laki itu membaca isi percakapan yang diterimanya. Lalu berkata, “Ya, sama-sama suka,” sambil menyodorkan kembali ponsel itu kepada Ririn.

Ririn menerimanya dan meletakkan ponselnya tepat di samping gelas susu jahe hangat.

“Bisa menyimpulkan sama-sama suka itu dari mana?”

“Sama-sama meng-aamiin-kan,” terang Arif sambil tersenyum. “Artinya, ada harapan ke depan,” tambah Arif.

Perempuan itu masih diam.

“Hubungan kalian sudah lama seperti itu? Berapa lama kira-kira?” tanya Arif dengan memasang wajah serius.

“Terhitung sejak tiga tahun lalu kami mulai dekat,” jawab perempuan itu dengan datar. “Dekat saja, ya,” tegas Ririn, lalu tertawa.

Keduanya tertawa.

“Nah, kemarin April, dia menyatakan perasaannya mengajakku menjalin hubungan. Tetapi, aku tidak menerimanya,” ungkap Ririn.

Arif yang sedang meneguk kopi, tiba-tiba menjadi terhenti dan memelototi Ririn yang sedang tertawa. Seketika itu pula, tawa Ririn menjadi padam, lalu wajahnya menampakkan ekpsresi datar.

Why?” tanya Arif dengan singkat.

Ririn membaikkan dirinya dengan tersenyum kecil.

“Entahlah, Rif. Mungkin, aku terlalu terpengaruh lingkungan. Seketika, aku merasa sangat ingin. Lalu seketika juga, aku merasa jalan kita masih panjang, bukan sebaiknya di antara kita menjalin hubungan dengan berpacaran. Tetapi betapa bodohnya, aku sama sekali tidak memberikan penjelasan apapun padanya.”

“Dan setelah itu, dia langsung meminta maaf,” sambung Ririn.

Arif mengerutkan keningnya, lalu mengangkat kedua alisnya lebih tinggi, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Sebenarnya, di sini kamu bisa dianggap sebagai pemberi harapan palsu. Tetapi, laki-laki itu baik, hingga meminta maaf segala. Seharusnya, kamu tidak memberi harapan pada dia. Tetapi, sekarang keadaannya sudah menjadi terlanjur. Aku bingung,” terang Arif dengan tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Iya Rif. Aku pun bingung. Makanya, aku cerita ini pada Arif, karena aku merasa masalah ini semakin membengkak setelah obrolan semalam.”

Lihat selengkapnya