Kamu yang berikrar, kamu sendiri yang telah ingkar.
***
Dua tahun berganti, satu bulan setelah Ririn melangsungkan wisuda, ia mengajar di sekolah tempatnya magang terdahulu. Hari ini, waktu mengajarnya sampai sore. Sekitar pukul setengah empat, Ririn bergegas menuju terminal untuk pulang ke kampung halamannya di Tasikmalaya. Bus yang ia tumpangi mulai berangkat pukul empat. Dalam angannya, besok adalah hari yang telah sejak lama ia nantikan. Sepanjang lima tahun, Ririn menjaga komitmen dengan laki-laki yang dikenalnya sejak SMA.
Sabtu siang, sekitar pukul satu, rombongan keluarga dari Surabaya telah tiba di rumah Ririn. Sebelumnya, mereka datang ke Tangerang, lalu keesokan harinya berangkat menuju Tasikmalaya mulai bada subuh. Ririn dan keluarganya telah mempersiapkan penyambutan sebaik mungkin untuk kedatangan keluarga dari Surabaya.
Saat rombongan dipersilakan masuk, kedua keluarga saling menyalami. Semua anggota keluarga duduk di sofa, membentuk sudut segitiga. Perasaan gelisahnya semalam, kini kembali dirasakan Ririn. Namun, kali ini lebih kuat hingga membuat perasaannya tidak karuan. Ririn mengambilkan minuman di dapur, lalu menyajikannya ke atas meja. Setelah itu, Ririn kembali duduk di ujung sofa, tepat di samping ibunya.
“Emm. Kak Rama dan adiknya tidak bisa ikut, Bu?” tanya Ririn setelah menyadari tamunya beranggotakan tiga orang.
“Oh, Rama dan Dina. Mereka menunggu di mobil. Tadi Rama sedikit pusing, mungkin mabuk perjalanan. Dan Dina menemaninya,” jelas Ibu, sekaligus meminta maklum atas Rama dan Dina yang tidak bisa ikut masuk ke rumah.
“Ya ampun. Padahal, kalau Mas Rama sakit ikut masuk saja, supaya bisa beristirahat di sini. Kebetulan, ada kamar yang kosong. Iya kan, Teh?” ujar Mamah.
“Tidak usah, Ibu. Terima kasih. Biarkan saja mereka menunggu di mobil, supaya tidak merepotkan,” jawab Ibu kepada Mamah.
“Loh, tidak merepotkan sama sekali, Bu. Tetapi, kalau memang inginnya beristirahat di mobil, kami tidak bisa memaksa,” kata Mamah dengan tersenyum.
Setelah mendengar itu, fokus Ririn mulai terbagi. Ia mengkhawatirkan keadaan laki-laki yang didengarnya sedang tidak baik-baik saja. Kekhawatiran itu yang membuatnya ingin segera keluar untuk melihat keadaan Rama. Namun, Ririn tidak bisa meninggalkan pertemuan keluarganya, karena hari itu adalah hari penting bagi kedua keluarga.
“Sebenarnya, maksud kedatangan kami kemari, saya ingin melamarkan Mbak Ririn untuk anak kami, Haidar Samiyudha,” ungkap Ayah.
Sesaat setelah mendengar maksud tersebut, wajah Ririn menjadi sangat terkejut.
Menyematkan ikatan pada dua orang menuju pernikahan adalah hal yang sangat didambakan perempuan untuk meyakinkan hatinya, bahwa laki-laki yang memintanya telah ingin membina hubungan lebih serius dari sekadar teman. Ririn sudah menantikan itu sejak lama. Bahkan, semalam ia telah kesulitan memejamkan matanya hanya karena begitu menantikan momen tersebut. Tetapi, ketika nama yang disebutkan adalah laki-laki lain, hal itu cukup membuatnya kehilangan kalimat, bahkan kosa kata sekalipun.
“Bagaimana? Mbak Ririn bersedia menerima lamaran Haidar?” tanya Ibu, penuh harap.
“Bagaimana, Teh? Mau diterima?” tambah Mamah.