PENGHARAPAN

Estiana
Chapter #8

Praduga

Harap yang kusemogakan, nyatanya telah terasingkan. Langkah kita sama, tetapi arahnya berbeda.

***

Satu minggu setelah hari pengikatan, Rama masih tidak merasakan apapun dalam hatinya, melainkan penyesalan. Di atas tempat tidur, tubuhnya terbaring lemah. Dengan tatapan hampa, ia memandangi sebuah lukisan diri yang dipajangnya di meja, tepat di sudut seberang tempat tidur. Hari itu, semua penghuni asrama menghabiskan waktu untuk beristirahat, setelah sepekan menunaikan kewajiban.

Fikri adalah orang yang paling mengkhawatirkan keadaan teman-temannya. Meskipun begitu, ia selalu pandai dalam bersikap agar menjaga batasan yang dinamai privasi. Suasana di asrama memang selalu ramai. Sebagian orang sedang asik menontom film dari layar laptop, sebagian lagi ada yang terlihat bermain game dari ponselnya. Sementara, Fikri sedang mengetik dokumen di laptopnya.

Tringtringtringtring..

Satu pesan Whatsapp tiba-tiba muncul di ponsel Rama.

Ririn: Aku di depan gerbang, Kak. [14.20]

Setelah membaca pesan itu, Rama langsung beranjak dari tempat tidur. Ia segera mengambil jaket dan merapikan rambutnya. Lalu, ia bercermin, memastikan wajahnya terlihat baik-baik saja. Rama keluar dari kamar untuk membukakan pintu gerbang. Dibiarkannya seorang perempuan memasuki teras depan.

Dekat dari simpang keramaian, dua orang duduk berseberangan, mengapit meja berbentuk lingkaran. Kedua pandangannya saling berlarian. Seorang perempuan menundukkan wajahnya ke lantai, menitikkan air mata kesedihan. Sementara, laki-laki itu tidak kuasa menyaksikan pemandangan yang memilukan.

“Jangan menangis! Tolong jangan menangis!” pinta Rama tanpa memalingkan pandangannya dari keramaian.

Ririn tidak menjawab. Ia masih menangis.

“Iya, aku salah!” lanjut Rama seraya mengaburkan pandangannya.

Perempuan itu seketika berhenti menangis, lalu berbalik dan menatap Rama dengan tajam.

“Aku tidak minta pengakuan, Kak. Aku perlu penjelasan. Mengapa Kak Rama melakukan semua ini dan__ tiba-tiba?!”

Rama terdiam. Sementara, Ririn masih saja menatapnya penuh harap.

“Jawab, Kak!” lanjut Ririn, tangannya menggertak meja.

**

Di dalam asrama, Helmi sangat penasaran dengan apa yang dibicarakan temannya. Ia sama sekali tidak tahu apa dan siapa yang sedang berbicara di teras bersama Rama.

“Di depan sedang membicarakan apa, Fik? Perempuan itu siapa?” tanya Helmi kepada Fikri.

Fikri tidak memberikan jawaban. Karena, ia pun kini masih menerka-nerka tentang apa yang sebenarnya terjadi pada teman asramanya.

“Fik, perempuan itu siapa? Dia pacar Rama?” sekali lagi tanya Helmi.

“Mereka tidak pacaran,” jawab Fikri singkat.

**

Di kursi teras, keduanya saling diam. Rama berusaha menguatkan hatinya berhadapan dengan perempuan yang sedang menagihnya jawaban.

“Tidak ada lagi yang perlu aku jelaskan. Semuanya sudah sangat jelas. Aku akan segera menjadi adik iparmu. Kamu minta penjelasan seperti apa lagi?” jawab Rama seraya mengendalikan emosinya.

“Jelas? Jelas bagaimana maksud Kak Rama? Apa selama ini di antara kita tidak ada artinya bagi kakak? Lima tahun kita saling menjaga perasaan itu. Lalu, janji yang pernah kakak ucapkan? Semuanya hanya bualan?!” serang Ririn dengan nada menekan.

Wajah Ririn kembali berderai air mata. Ia semakin menatap tajam sosok wajah yang mematung di hadapannya. Sementara, Rama masih diam. Wajahnya semakin memerah. Terlihat kedipan berat di kelopak matanya, seolah enggan menunjukkan kesedihan.

Lihat selengkapnya