Dalam hujan, aku ingin mendekapmu dengan kehangatan.
***
Tiga bulan setelah Ririn kembali ke Bandung, artinya pembelajaran di sekolah telah hampir memasuki ujian semester. Berdasarkan kalender akademik, seharusnya minggu depan mulai dilaksanakan ujian. Pukul setengah tujuh, Ririn sudah berada di kursi piket. Ia bersama Pak Fajar yang saat itu juga merupakan guru Bahasa Indonesia.
Dingdingdingtring…
Itu bunyi notifikasi khusus pesan Whatsapp di ponsel Ririn. Benar saja, ketika layar ponsel dinyalakan, terbaca dua pesan dari seseorang yang tidak asing namanya. Rupanya, Ririn masih mengkhususkan notifikasi pesan dari laki-laki itu.
Kak Rama: Assalamualaikum. [06.50]
Kak Rama: Bagaimana kabarnya? [06.50]
Ririn: Waalaikumsalam. Alhamdulillah, baik. [06.51]
Perempuan itu hanya membalas pesan Rama dengan singkat, lalu mensenyapkan nada dering ponselnya, dan menyimpannya kembali ke dalam tas.
“Pak Fajar, saya masuk kelas dulu, ya,” ucap Ririn.
“Oh iya, Bu. Silakan,” sahut Pak Fajar.
Kini, banyak yang memanggilnya Bu Ririn. Walau terbilang muda dan sangat baru, Ririn sudah diberi kepercayaan untuk mengajar di semua kelas sepuluh.
Setiap Jumat, jam mengajarnya sangat padat. Sehingga, ia akan sangat jarang mengecek ponsel atau sekadar menyalakan layarnya. Hari ini, kegiatan mengajarnya berakhir pada pukul tiga. Sebelum pulang, ia mengikuti rapat kepanitiaan Pramuka sore itu.
Pukul empat lebih dua puluh lima menit, Ririn telah tiba di tempat kosnya. Namun, perempuan itu masih belum mengecek ponselnya. Ia segera membersihkan diri dan melanjutkan pekerjaannya dengan mencuci seragam yang dipakainya seharian. Tidak terasa, jam dinding menunjukkan pukul enam kurang sepuluh menit.
Suasana petang terasa begitu menenangkan. Rasa penat yang menyapanya seharian seketika hilang dan beralih menjadi perasaan tentram, serta penuh syukur. Waktu magrib, ia isi dengan salat dan mengaji hingga isya.
Setiap hari, selepas salat, air mata selalu membasahi kedua pipinya. Dalam keseorangan, menangis selalu menjadi obat bagi hatinya yang tengah memendam luka. Tidak lama kemudian, kantuk datang membelai kedua matanya. Memang benar, tertidur setelah menangis adalah kenikmatan yang tiada terelakkan.
Sebelum tidur, Ririn menyempatkan untuk mengecek ponselnya. Saat dikeluarkan, ia mendapati nada dering ponselnya masih dalam keadaan senyap. Terlihat dari bilah layar notifikasi, telah diterima lima pesan dari dua pengguna Whatsapp yang masuk. Empat dari pesan itu dikirim oleh nama pengguna yang sama.
Kak Rama: Alhamdulillah. [06.52]
Kak Rama: Besok bisa ketemu? [06.53]
Kak Rama: Ada yang ingin aku bicarakan. [06.53]
Kak Rama: Penting. [06.53]
Lagi-lagi, pesan itu dibalasnya dengan singkat.
Ririn: Maaf, Kak. Tidak bisa. [20.01]
Ririn kembali meletakkan ponselnya di atas meja, tepat di samping kiri tempat tidurnya. Lalu, menarik selimut dan tidur.
Dingdingdingtring…
Ririn menyadari bahwa itu adalah notifikasi pesan dari orang yang sama. Namun, ia enggan menghiraukannya. Menurutnya, ia hanya perlu mengabaikan segala hal yang berhubungan dengan orang itu, agar bisa melupakan semua kenangan bersamanya. Lagi pula, Ririn merasa akan membutuhkan waktu cukup panjang untuk bersikap biasa saja kepada Rama.
Dingdingding.. dingdingdingding..
Dingdingding.. dingdingdingding..
Seketika, mata Ririn kembali terbuka. Nada dering itu, panggilan telepon Whatsapp dari seseorang. Ia meraih kembali ponselnya. Benar saja, terlihat dari layar, panggilan telepon masuk dari orang yang sama dengan tadi pagi. Panggilan itu ditolaknya, kemudian dibacanya pesan yang telah diterima.
Kak Rama: Mengapa tidak bisa? [20.01]
Ririn: Aku sudah ada janji dengan seseorang. [21. 02]
Sesaat setelah terkirim, pesannya langsung bertanda centang biru. Masih di menit yang sama, panggilan suara kembali muncul di ponsel Ririn.