Selesai tak selalu berakhir. Putus tak berarti cerai. Ikatan kita menjadi luas dan jelas.
***
Perjalanan menuju Tangerang ditempuhnya dengan bus. Ririn dan Rama terlebih dahulu menuju terminal Leuwipanjang menggunakan angkutan kota. Sesampainya di terminal, keduanya langsung menaiki bus tujuan Tangerang yang hampir akan berangkat. Penumpang dalam bus cukup ramai, mengingat hari itu adalah akhir pekan.
Ririn dan Rama duduk bersampingan. Rama memilih kursi dekat persimpangan, sementara Ririn dibiarkannya samping jendela. Bus melaju dengan lancar. Sehingga, tidak lama kemudian, bus yang mereka tumpangi sudah keluar dari kawasan kota kembang.
Sejak pemberangkatan, Rama tidak sama sekali mengatakan apa pun. Ia hanya duduk dan terus melamun. Bahkan saat waktu istirahat pun, Rama hanya pergi salat tanpa menyentuh makanan sedikit pun. Sesaat setelah bus kembali melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Rama merasa mual. Ia memegangi keningnya. Lalu, sesuatu dimuntahkan hingga mengotori jaketnya. Hal itu cukup menjadikannya panik.
“Astagfirullah. Kak Rama?” kata Ririn. “Kakak kenapa?” sambil mengeluarkan sapu tangan di dalam tasnya, lalu mengelap muntahan di jaket Rama.
Rama yang sedang merasakan pusing, tidak memberikan jawaban. Ia terus saja memegangi keningnya. Suhu badannya menjadi sangat tinggi dan menggigil. Wajah Rama berubah memucat.
“Apa kakak masuk angin?” tanya perempuan itu dengan cemas.
Rama masih tidak menjawab. Kemudian Ririn ingat, sebelum berangkat, ia sempat membeli obat dan beberapa makanan kecil di warung.
“Ini, Kak. Minum obatnya!” sambil menyobek kemasan obat masuk angin.
Seperti menyerah pada keadaan, Rama meminum obat yang diberikan Ririn. Sementara, Ririn membukakan kemasan kue yang dibawanya dari Bandung, lalu menyodorkannya kepada Rama.
“Makanlah, walau sedikit,” katanya kepada Rama.
Rama menerima dan memakan kuenya perlahan. Perjalanan untuk sampai di Tangerang masih satu jam. Setelah badannya sedikit membaik, Rama tertidur di dalam bus dengan pulas. Menyadari hal itu, membuat Ririn sedikit lebih tenang.
Pukul setengah delapan malam, bus yang mereka tumpangi tiba di terminal. Semua penumpang, sopir dan kernet sudah turun. Sementara, Rama masih tidur dengan pulas. Ririn pun terpaksa membangunkannya. Keduanya keluar menuruni bus yang sudah terparkir.
Ririn memesan taksi online agar mereka lebih cepat sampai ke tempat Rama tinggal. Hanya dalam sepuluh menit, mereka tiba tepat di depan asrama. Gerbang asrama yang saat itu belum dikunci, membuat mereka bisa masuk menuju pintu utama. Sementara Ririn mengetukkan pintu, Rama duduk dengan lemas di kursi di teras depan.
Tok-tok-tok..
“Assalamualaikum. Permisi!” seru Ririn.
“Suara perempuan? Siapa yang malam-malam datang kemari?” tanya Hafiz kepada Helmi.
“Temui saja, lalu tanyakan keperluannya,” timbal Fikri yang sedang memainkan laptop di sofa ruang tengah.
“Ya sudah. Aku yang bukakan pintu,” sahut Helmi.
Tok-tok-tok..
“Assalamualaikum,” sekali lagi.
“Waalaikumsalam,” jawab Helmi seraya membukakan pintu. “Emm. Cari siapa?” tanya Helmi kebingungan.
Mendapati seorang perempuan yang sama sekali belum pernah dikenalnya, datang bertamu di malam hari, cukup membuat Helmi kebingungan. Ditambah, perempuan itu didapati datang seorang diri.
“Kak Fikri, ada?” tanya Ririnlangsung tertuju kepada nama yang dikenalnya.
“Fikri?” jawab Helmi semakin bingung. “Tunggu sebentar. Fikri ada di dalam,” lanjutnya. Helmi segera memanggil Fikri dari dalam asrama.