Waktu bergulir seperti air. Masa merambat begitu cepat. Harapanku lenyap, bersama takdir yang mengantarku pada penyesalan mendalam.
***
Pagi terlalu dini. Waktu terhitung hampir enam bulan sejak hari pengikatan. Bau penyesalan tercium dari dalam kamar. Roman kesesalan melekat pada diri laki-laki yang tidak asing namanya. Rama terbangun dari tidur, lalu pergi menyegarkan wajahnya. Ia mengambil minum untuk sekadar menenangkan asumsinya. Hatinya terguncang, badannya gemetar, isakan napas berat dihirupnya.
Laki-laki itu tidak menyangka waktu berlalu begitu cepat. Lusa adalah hari besar bagi dua keluarga. Artinya, hari ini adalah kesempatan terakhirnya bercengkrama dengan perempuan yang pernah dititipkan janji olehnya.
Tiba-tiba, pandangan Rama tertuju pada lukisan diri yang diletakkannya di meja di seberang tempat tidur. Ia meraihnya dan mengingat kembali perasaan sesaat setelah lukisan itu pertama kali diterima. Lukisan yang digambarkan khusus oleh perempuannya.
“Aku tidak menyangka keadaannya akan menjadi seperti ini. Semua benar-benar di luar kendaliku. Aku minta maaf,” lirih Rama sesaat sebelum membiarkan lukisannya tergeletak di lantai kamar.
Detik demi detik ia jalani dengan mengurung diri. Sering, Rama membuka kembali histori percakapannya dengan perempuan itu. Dibacanya berulang, pesan-pesan saat keduanya masih memiliki waktu bersama. Kini, semua tawa dan canda baginya tinggallah kenangan.
**
“Waktu bergulir seperti air. Masa merambat begitu cepat. Harapanku lenyap, bersama takdir yang mengantarku pada penyesalan mendalam,” ungkap Rama dalam tangis.
“Kamu harus belajar ikhlas, Ram. Semuanya sudah digariskan,” pesan Fikri saat merawatnya karena demam tinggi tiga bulan lalu.
“Entahlah, Fik. Aku tidak yakin akan sembuh dalam waktu dekat. Aku perlu waktu lebih panjang untuk dapat menerima kenyataan ini.”
“Aku mengerti. Namun, belajarlah menerima kenyataan. Bahkan, jika itu tidak sesuai dengan harapan,” terang Fikri seraya memasangkan kompres di kening Rama.
**
Rama merasa harapannya telah melayang bersama perempuan itu. Ia tidak yakin akan menemukan perempuan yang sama untuk kedua kali. Kini, ia hanya dapat berbaring, meratapi nasib yang tidak pernah ia harapkan.
Suasana kamar saat itu benar-benar hening. Penghuni asrama mungkin masih menjelajahi alam mimpi. Sementara, Rama sedang berjuang, beranjak dari masa lalu yang kini membayanginya.
**
Dalam ruangan berbeda, seseorang tengah bersikeras meyakinkan hatinya untuk bersanding dengan laki-laki yang memintanya menjadikan teman sehidup. Seorang perempuan menengadah di atas sajadah, memohonkan petunjuk atas segala urusannya. Ia meminta diteguhkan hatinya kepada laki-laki yang akan segera menjadi takdirnya.
Rupanya, Ririn telah rela memangkas waktu tidurnya hanya untuk berulang, memohonkan kebaikan bagi orang-orang yang ia sayangi. Hari ini, Ririn mulai mengambil cuti mengajar. Ia akan mempersiapkan hari besar yang telah direncanakannya sejak enam bulan ke belakang.
Selesai berdoa, tanpa sengaja, pandangannya tetuju pada panda merah muda yang dipajangnya di dinding kamar. Lalu, ia mulai teringat kepada laki-laki yang sengaja diabaikannya sejak tiga bulan lalu.
“Kak Rama? Bagaimana keadaanmu? Sejak hari itu, aku tidak lagi mendengar kabarmu. Semoga kamu selalu baik-baik saja, Kak. Aamiin,” lirih Ririn dengan tulus.
Tanpa sadar, perempuan itu menjatuhkan air mata. Ia kembali merasakan gelisah dalam hatinya. Kenangan itu seakan terputar di dalam memorinya. Kenangan ketika ia harus menerima kenyataan, bahwa Rama memilih merelakannya untuk Haidar.
Ririn meraih ponsel, lalu membuka profil Whatsapp laki-laki yang sedang dikhawatirkannya. Profilnya terlihat online. Lalu, ia memberanikan diri mengirimkan sebuah pesan.
Ririn: Assalamualaikum. [03.07]
Ririn: Kak Rama apa kabar? [03.07]
Tiba-tiba, profil Whatsapp Rama menjadi offline. Dalam terkaannya, mungkin laki-laki itu sedang tidak ingin diganggu. Atau, Rama sudah tidak ingin lagi berurusan dengan perempuan di masa lalunya. Setelah beberapa menit, pesan Ririn bertanda centang biru. Namun, Rama tidak sama sekali terlihat sedang mengetikkan balasan. Ririn merasa, Rama memang sedang sengaja mengabaikannya. Lalu, ia membuka galeri di ponselnya dan mengarah pada sebuah foto wisudawan diploma muda saat dua tahun lalu.
“Mungkin, ini sudah menjadi hukuman yang pantas bagiku. Hukuman atas ketidakjujuranku saat enam bulan lalu. Keputusan itu, kini mengantarkanku pada perasaan menyesal sepanjang waktu,” ujar Ririn dalam tangis.
Dalam penyesalan itu, Ririn meluapkan semua emosi yang menyelimutinya. Kesesakkan mulai menghantuinya sejak enam bulan lalu. Ririn menangis dan merintih, menerima sakit di dalam hatinya. Dalam sujud, perempuan itu tertidur di atas sajadah dengan masih berbalut mukena.
Dingdingding.. dingdingdingding..
Dingdingding.. dingdingdingding..
Pukul tiga lebih lima puluh menit, ponsel Ririn berdering. Notifikasi itu berhasil membangunkan perempuan yang sedang tertidur pulas. Tanpa melihat nama peneleponnya, Ririn langsung menerima panggilan itu.