PENGHARAPAN

Estiana
Chapter #13

Pengharap

Hidup tidak berhenti hanya karena satu kenyataan. Teruslah melangkah, hingga kamu menemukan sesuatu yang lebih kamu inginkan.

***

Udara kota Tangerang kali ini sedang benar-benar gersang. Hawa panas tidak membuat menghentikan langkah perempuan yang sedang digulung cemas. Sementara, seseorang masih merasakan dingin dalam tubuh yang menggigil. Selimut tebal telah menutupi hampir di seluruh tubuhnya. Satu orang teman menemani di dalam kamar.

“Ayolah, Ram. Makan bubur ini sedikit, supaya kamu bisa meminum obat,” bujuk Fikri kepada temannya.

Rama tidak menghiraukannya.

Fikri semakin bingung harus membujuk Rama dengan seperti apa. Beberapa kali, Fikri terlihat mengecek jam di ponselnya. Beberapa kali juga, ia terlihat sedang mengetik sebuah pesan, lalu mengirimkannya. Pukul satu siang, asrama mereka mendapati seorang tamu.

 “Assalamualaikum.

Waalaikumsalam. Fiz, tolong persilakan tamu itu masuk!” seru Fikri dari dalam kamar.

“Ya,” sahut Hafiz yang sudah berjalan mendekati pintu.

Dibukakannya pintu utama oleh Hafiz. Sementara, Helmi masih terlihat sibuk memanaskan air di dapur. Teman asrama yang lainnya sudah berada di dalam kamar yang sama. Hafiz mempersilakan seorang perempuan masuk dan mengantarnya menuju ruangan.

 “Assalamualaikum,” ucap Ririn.

Waalaikumsalam,” jawab semua orang dalam kamar.

“Akhirnya, kamu segera sampai, Rin,” kata Fikri dengan lega.

Alhamdulillah, Kak. Lalu lintas hari ini cukup lancar. Oh ya, bagaimana keadaannya sekarang?”

“Seperti yang kamu lihat. Sejak fajar, dia hanya berbaring lemah dengan suhu badan yang sangat tinggi.”

“Bagaimana dengan sarapannya?” tanya Ririn.

“Belum sedikit pun makanan yang disentuhnya.”

“Ya ampun,” lirih Ririn semakin cemas.

Semua orang kecuali Fikri, meninggalkan Rama dan Ririn dalam kamar. Ririn sengaja meminta seseorang untuk tetap berada di ruangan, supaya menghindari salah paham di antara mereka. Meskipun begitu, Fikri merasa sungkan harus berada di antara keduanya. Maka, Fikri memutuskan menemani dengan berdiam di dekat jendela. Ia menghadap ke luar, menyaksikan cahaya menghangatkan tanaman yang tumbuh di pekarangan asrama.

Ririn meraih jemari Rama yang sedang menggigil.

“Kak Rama? Ini aku, Ririn.”

Pandangan Rama masih mengarah pada langit kamar.

“Sadarlah, Kak. Kak Rama tidak boleh berlarut-larut seperti ini. Aku mohon, berjanjilah bahwa kakak akan segera sembuh,” pinta Ririn saat meneteskan air mata.

Perlahan, pandangan Rama mulai beralih. Ia menatap wajah perempuannya dengan lemah, lalu menitikkan air mata. Melihat hal itu, Ririn merasa sedikit lega dan haru. Namun, matanya masih menangis. Rama yang tidak bisa menyaksikan perempuannya menangis, melepaskan genggaman tangan Ririn, lalu berusaha mengusap air mata perempuannya.

“Jangan menangis! Tolong jangan menangis!” pinta Rama dengan lemah.

Mendengar kalimat itu membuat Fikri membalikkan badan, sekaligus terharu. Ia menyaksikan pemandangan yang memilukan. Kisah yang berhasil menguras simpatinya. Lalu, tangan Ririn kembali menggapai jemari Rama di pipinya.

“Tidak, Kak. Aku tidak akan menangis,” sambil tersenyum lembut. Sementara, Rama kembali menitikkan air mata.

“Kak Rama jangan menangis. Aku sudah berada di sini,” ucap Ririn seraya membalas usap air mata Rama.

**

Setelah suasana menjadi lebih baik, Rama bersedia menyentuh makanannya. Ririn menyuapi Rama dengan lembut. Ia juga mengelapkan handuk basah pada beberapa bagian tubuh Rama. Perempuan itu benar-benar merawat Rama dengan sepenuh hati.

Tiba-tiba, Fikri teringat bahwa pemandangan itu akan berakhir dalam waktu kurang dari empat puluh delapan jam. Ia mengetahui betul, bahwa Ririn akan segera menjadi wanita dari laki-laki lain, yaitu kakak kandung Rama.

Hingga petang, Ririn masih menemani Rama di dalam kamarnya. Ia juga telah membuatkan makanan untuk teman-teman Rama di asrama. Kini, keadaan Rama sudah lebih membaik. Sekarang, Rama sudah bangun dan mampu menyandarkan dirinya pada dinding kamar. Ririn membantu mengganjalkan bantal pada belakang Rama.

Lihat selengkapnya