Pagi ini hujan turun lagi. Seperti hari-hari kemarin yang masih menyisakan aromanya yang khas. Membuat suasana di kampus terlihat sepi dari biasanya. Tidak deras, hanya gerimis. Itu pun masih bisa membuat tubuh basah kuyup.
Aku menghela napas panjang saat melihat kerumunan di depan ruang Dekan yang bersebelahan dengan ruang pribadi Rektor. Aku tak tahu kenapa pagi-pagi sekali mahasiswa berkumpul di sana. Apa mereka mau melakukan demo lagi? Karena, beberapa hari yang lalu seluruh mahasiswa berdemo untuk menolak kenaikan uang semester yang dipimpin langsung oleh kak Andi selaku ketua presma.
Tanganku pelan menyentuh Cindy yang ikut berdiri di belakang kerumunan tersebut. Ia menoleh saat menyadari kedatanganku yang terbilang sudah telat ini.
“Syukur kamu datang,” ujarnya.
“Ada apa ramai sekali? Apa mereka demo lagi?” tanyaku yang masih fokus menatap mereka satu-persatu.
“Bukan. Lokasi KKN kita sudah ditentukan pihak kampus. Sebagian dari mereka ada yang protes karena tak terima ditempatkan di desa itu.”
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
Tak ada yang lebih menarik dari pembahasan ini. Biasanya mahasiswa lebih menyukai kegiatan di luar kampus dibanding dengan kegiatan belajar yang sedikit membosankan.
“Ada rumor yang mengatakan bahwa lokasi mereka angker,” lanjut Cindy.
“Terus apa hubungannya dengan Dekan?” tanyaku yang masih belum mengerti situasi saat ini.
“Iya ada lah, Chel. Karena Dekan yang menyetujui lokasi tersebut. Padahal pihak kampus sudah tahu bahwa tempat itu tidak aman untuk kita.”
“Maksudnya, kita?” aku tahu kemana arah dan tujuan Cindy berbicara dan paham dengan desa yang dia maksud.
Cindy mengangguk. “Iya, kita. Anak cowok yang satu lokasi dengan kita tengah berbicara dengan Dekan agar lokasi itu dibatalkan saja dan mencarikan kita desa yang baru.”
Aku tak tahu bagaimana harus menanggapi ini. Beberapa minggu yang lalu beredar rumor yang mengerikan tentang desa itu. Entah cerita itu benar atau tidak, yang jelas dengan adanya kabar yang menakutkan telah membuat kami para mahasiswa bergidik ngeri.
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku saat salah satu teman sekelas keluar dari ruang Dekan dengan wajah cemberut.
“Nihil,” jawabnya yang diikuti empat orang cowok yang beda kelas, tapi msih satu jurusan denganku.