PENGHUNI TERAKHIR

Endah Wahyuningtyas
Chapter #2

Bagian 2

Sebelum Ami berangkat kuliah, tukang yang hendak memperbaiki saluran air itu sudah datang. Ibu kost yang mengantarkan tukang it uke dalam kosan Ami.

Ami yang kebetulan sedang ada di dapur bertemu dengan ibu kost dan pak tukang yang bersiap-siap hendak bekerja. Pak tukangnya sudah setengah tua, memakai topi warna hitam dan memakai kaos partai warna merah.

Tukang itu tersenyum dan menyapa Ami ramah.

"Tindak, Mbak? (Berangkat, Mbak?)"

"Njih, Pak," jawab Ami singkat, dan kemudian dia segera berangkat ke kampus. Sesampainya di kampus Ami merasa agak resah. Dia seperti diperhatikan oleh seseorang oleh seseorang. Diperhatikan dalam artian yang kurang baik, seperti diawasi, seperti diintai. Entah oleh siapa. Ami hanya merasa ada yang mengawasinya dari belakangnya, mengawasinya lekat.

Ami menoleh ke belakang. Tapi tidak ada siapa-siapa yang memperhatikannya, semua nampak normal saja. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Ami bergidik.

Ami dan dua orang temannya sholat Dhuhur siang itu. Setelah sholat Dhuhur sebenarnya Ami tidak ada kuliah lagi, tapi Ami enggan pulang, dia takut ada kejadian seperti kemarin lagi.

"Melu aku wae, Mi. Aku saiki mondok, lo, (Ikut aku saja, Mi. Aku sekarang mondok,)" kata Inaya, salah satu temannya.

"Wah, kowe wis tobat, po? Ya apik, lah! Ya, aku tak melu kowe, wae, Ya. Daripada aku diwedeni setan neh, (Wah, kamu sudah tobat, ya? Ya bagus, lah! Ya, aku ikut kamu saja, Ya. Daripada aku ditakut-takuti setan lagi,)" jawab Ami.

Inaya bergidik. Dia sudah mendengar cerita Ami tentang kostannya yang agak-agak seram itu.

"Kowe mondok ning endi, Ya? (Kamu mondok di mana, Ya?)" tanya Ami.

"Pesantren ruqyah. Aku ya ndhisik sering ngimpi mati, Mi. Aku sering ngimpi meh dikubur, meh diurug lemah, (Pesantren ruqyah. Aku dulu sering mimpi mati, Mi. Aku sering mimpi hampir dikubur, hampir ditimbun tanah,)" kata Inaya bergidik, dia merinding mengingat semua mimpinya itu.

"Bayangin aja, gimana rasanya merasakan tubuh kita dimandikan dengan air hangat, disabuni, kemudian ditutup dengan kain kafan. Sesak nafas! Bahkan aku merasakan hidungku panas ketika mereka memasukkan kapur barus ke dalam hidungku. Setelah itu aku mendengar orang-orang disekitarku menangis meratapiku. Aku pengen banget berdiri dan bilang kalau aku belum mati, tapi aku tidak bisa bergerak. Kalau aku merasa mau bangun, pasti ada yang tertawa di sampingku dan bilang : 'kamu nggak akan bisa bangun! Kamu akan jadi pengantinku!'. Begitu terus selama hampir lima tahun, Mi. Sejak SMP sampai awal kuliah kemarin."

"Sekarang udah nggak?" tanya Ami dan Beti hamper bersamaan.

Inaya menggelengkan kepalanya.

"Aku diruqyah, Mi."

"Gimana rasanya diruqyah, Ya?"

Inaya menggelengkan kepalanya.

"Aku diruqyah sampai lima kali. Yang pertama aku seperti dikejar-kejar kuda. Capeknya minta ampun. Takutnya, Astaghfirullah! Aku takut diinjak kuda."

"Terus?"

"Terus aku pulang, dan aku masih mimpi mau dikubur lagi. Tapi kali ini tiba-tiba ada yang mengobrak-abrik rumah tempat aku dikafani. Kemudian aku bangun. Aku nggak paham. Terus aku diruqyah lagi. Yang kedua ini lebih serem. Aku sedang dikafani. Tiba-tiba ada orang buruk rupa, bau dan sakit kulit di depanku. Aku nyaris muntah lihatnya. Dia tersenyum padaku. Terus dia bilang : 'aku amal perbuatanmu! Makanya jangan pake cincin itu!' Gitu katanya. Terus aku terbangun ketika sedang diruqyah. Aku menceritakan semua pada ustadz."

"Ustadz Irfan?"

"Bukan, namanya ustadz Sapto. Ganteng, tahu," kata Inaya. Mereka cekikikan.

"Terus?"

"Terus dia nanya, apa aku punya jimat atau perhiasan di rumah atau di kostan, kalau ada di suruh dibawa ke pesantren. Aku pulang. Terus di jalan aku kecelakaan. Kamu ingat, kan? Waktu aku jatuh dari motor. Tahu, nggak? Waktu itu aku lihat manusia buruk rupa yang kulihat waktu aku diruqyah tadi. Dia mentertawakanku dan hampir menyentuhku. Tentu saja aku berkelit, dan aku langsung jatuh," kata Inaya.

Ami tak sabar ingin mendenģar cerita lanjutannya.

"Setelah sembuh aku ke pesantren lagi. Aku bawa semua perhiasanku. Semua diruqyah dan dikembalikan lagi. Tapi belum lagi aku bangkit katanya aku kerasukan lagi. Nah, waktu aku diruqyah yang ketiga kalinya aku baru tahu maksud dari cincin itu. Ternyata adalah cincin yang kutemukan di kebun belakang rumah waktu aku masih kecil. Cincin warna hitam kecil yang kubawa di dompetku. Setelah aku selesai diruqyah aku segera menyerahkan cincin itu. Alhamdulillah setelah itu aku sembuh sepenuhnya. Tidak pernah ada lagi gangguan mahluk halus."

"Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Kata ustadz Sapto, cincin itu ada yang mengisi. Isi mahluk halus, yang sepertinya ingin memperistriku."

Ami dan Beti menjerit.

"Idih!"

"Naudzubillah!"

Mereka tertawa terbahak-bahak.

Tapi tiba-tiba Ami merasa ada yang memperhatikan di belakangnya lagi. Pandangannya sedingin es. Ami bergidik. Dia beristighfar dalam hati.

Ami menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di belakangnya.

"Kenapa, Mi?" tanya Inaya dan Beti heran. Ami menelan ludah, dia kemudian menceritakan apa yang dirasakannya.

Wajah Beti dan Inaya begitu ketakutan.

"Hiii! Ayo, ke pesantren ruqyah saja! Nanti bisa cerita sama ustadzah di sana. Insya Allah diberi nasihat dan cara-cara mengatasinya."

"Kalau mau ruqyah antri, ya? Bayarnya berapa?" tanya Ami.

"Setahuku, sih, kalau mau ruqyah harus daftar dulu, nanti ada konsultasinya. Kalau memang urgent bisa saat itu juga dilakukan. Untuk pembayarannya seikhlashnya, kalau ustadz Irfan selalu bilang biayanya sebesar kesyukuran kita kepada Allah! Mantap, kan?"

Wajah Ami bersinar.

"Wah, aku mau konsultasi juga, Ya! Pengen tahu apa yang terjadi pada diriku!"

Inaya mengangguk.

"Yuk, sekarang saja, mumpung kita punya waktu luang," kata Inaya.

Ami mengangguk semangat. Dia penasaran apa yang terjadi pada dirinya.

Ketika sampai di parkiran, seorang tukang parkir menyapa mereka. Awalnya Ami tidak terlalu memperhatikan, sampai ketika tukang parkir itu mendekat kepada Ami dan tersenyum. Tubuh Ami membeku. Tukang parkir itu sama persis dengan tukang yang tadi pagi datang ke kostannya. Pria setengah tua, memakai topi warna hitam dan memakai kaos partai warna merah.

"Kundur, Mbak? (Pulang, Mbak?)" tanya tukang parkir itu.

Lihat selengkapnya