Rey melangkah menjauh, punggung tegap itu menghilang dari pandangan Lara yang masih menatap kosong.
Pulang dengan membawa luka yang mulai merajam hatinya, yang semula bersemi karena cinta. Pulang dalam kesendirian. Begitu inginnya menjadikan kekasihnya sebagai tempat untuk pulang, tetapi justru dia menutup pintunya.
Sesaat terdengar bunyi motor yang menghilang di kegelapan malam. Lara tersadar dari lamunannya, dengan cepat dikejar bayangan lelaki itu.
"Maaasss .... " suaranya terdengar memecah keheningan malam, berharap Rey mendengar dan kembali.
Sunyi ... tak terdengar suara apapun. Langkahnya gontai kembali ke dalam, terduduk menatap titik noda darah di lantai putih itu, diusap lalu dibersihkan, menatap noda merah yang telah berpindah ke tangannya, tangisnya pecah.
"Selamanya aku akan tetap mencintaimu mas ...." gumam Lara lirih sambil membawa genggaman tangan yang bernoda itu ke dadanya.
Rey membersihkan darah di tangannya menarik napas perlahan, menghempaskan tubuhnya di sofa. Saat ini dia tidak menuju apartemennya, tapi apartemen yang ditinggali Ambar dan Nindy.
Dia harus memberitahu mereka biar tidak terlalu lama meninggalkan Panti.
Rey memijit pelipisnya yang berdenyut. Kekecewaan mendalam tergambar dari raut wajahnya. Rahangnya mengeras, menekan rasa yang tercabik, terbayang wajah cantik Lara saat matanya terpejam, wajah yang membuatnya terpesona untuk pertama kalinya pada seorang wanita.
Wajah yang membuatnya merindukan tempat untuk pulang, tempat untuk berbagi. Tempat untuk mengukir masa depan.
Gadis polos dengan segala daya tariknya telah mampu mengalihkan dunianya, tiga tahun lalu hingga kini. Gadis yang dia yakini sebagai tulang rusuknya.
Ambar sejak tadi mengendap karena mendengar bunyi kode sandy pada pintu, dalam pikirannya takut ada orang jahat yang memaksa masuk. Terbengong saat melihat Rey yang sedang terbaring di sofa.
"Kamu bikin Ibu kaget, Nak," sapa Ambar, membuat Lelaki itu mendongak. Wanita paruh baya itu duduk di hadapan Rey.
"Belum tidur, Bu?"
"Pintunya?"
"Ooo, saya punya salah satunya, Bu," ujar Rey sambil menunjuk kartu yang terletak di meja, yang selalu dibawa dalam dompetnya.
"Ada apa?" tanya wanita yang rambutnya sebagian sudah mulai memutih. Dia tahu jika Rey sedang tidak baik-baik saja.
Rey bangun lalu memperbaiki duduknya.
"Lara masih bimbang Bu, belum ingin menikah." Mata tua itu memincing. Ditatapnya raut sendu itu.
"Kenapa, apa ada masalah?"
Rey menggeleng, diusap wajahnya." Lara tidak siap untuk menjadi istri seorang prajurit, Bu." Raut sedih menggelantung di wajah ganteng itu. Sudah menjemput Ambar malah tidak jadi menikah.
Wanita tua itu mengurut dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri, dapat dirasakan luka yang dirasakan oleh anak kesayangannya itu.
"Apa Ibu mau langsung pulang atau mau jalan-jalan dulu di sini?"
Wanita itu terhenyak dari lamunannya, sesak terasa di dada. Sesaat menatap anak kecil yang telah berubah menjadi lelaki dewasa itu, anak kecil yang dulu menangis di simpang jalan, di tengah hujan, lalu dibawanya pulang, jejak orang tuanya menghilang hanya terselip sebuah brevet Charly di bajunya, mungkin sengaja ditinggalkan.
Sejak saat itu Rey menganggapnya sebagai Ibunya. Ditatapnya lelaki yang diberi nama Charly Reynhard itu. Ambar tahu jika Rey berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Dia menyembunyikan kekecewaan yang mendalam di raut wajahnya.