Hari masih gelap suara pengajian dari kejauhan terdengar samar samar dan asap yang mengepul perlahan berkurang.
"Sebentar lagi adzan subuh Mak, Setelah apinya menyala aku mau ambil wudu dulu."
"Itu sudah menyala sebentar lagi, Tidak perlu kau tiup, awas."
Mak ratih menarik Diar lanjut memasukkan plastik bekas tepung kedalam kayu yang penuh asap, plastikpun meleleh disambar api. Adzan subuh pun terdengar.
"Mak, Diar sholat dulu ya."
"Iya sana, Nanti selesai sholat gantian gorengnya biar Mak siap siap nyiapin sarapan."
Mak Ratih menggoreng aneka gorengan Tahu, terlihat juga Bakwan, Pisang dan roti goreng menanti giliran untuk dimasukkan ke wajan penggorengan di hadapan Bu Ratih.
"Iya Mak."
Diar hendak mengambil wudu masuk ke dalam. Tak sengaja Diar menyenggol kaki Saudara tertuanya Arbi tazeza sahzena yang tidur di depan tv karena hanya ada satu kamar di rumah dan abangnya Diar pun terbangun. Sehingga Diar pun mendapat cacian.
"Ei Bangsat! Buang tu mata kalau gak guna!"
Arbi kembali tidur setelah mencaci Diar, Saudara kedua Ardi atmojo sahzena hanya melihat langsung menutup muka dengan bantal, sementara adiknya Satrio Armoto Sahzena menatap Diar mengulurkan tangan kekiri menandakan meminta Diar berlalu masuk ke dalam kamar yang ia tempati dengan Ibunya. Sebelum berlalu Diar bergumam dalam hati melihat saudaranya.
"Keluarga macam apa ini? Tak sholatin jenazah tau rasa!"
Selesai sholat subuh Diar menghampiri Ibunya di dapur yang berlantai tanah berdinding rembio dan beratapkan daun.
"Mak, Biar Diar yang lanjutkan."
"Nah."
Mak ratih memberikan sendok penggoreng ke Diar lalu berdiri mengambil sayuran di rak bumbu dan Diary pun lanjut menggoreng.
"Mak, Diar ikut exstrakurikuler karate di sekolah boleh?"
Diarry memperhatikan gerakan Ibunya dengan penuh harap.
"Untuk apa semua kegiatan di sekolah diikuti?"
Ayah Diarry tiba tiba menyahut masuk ke dapur.
"Tapi Diar kan tidak pernah ikut Exstrakurikuler dari dulu pak? Masa sekarang udah SMA tetap gak boleh?"
"Kamu itu hanya perlu ijazah! Betulkah? Banyak diluar sana tamatan sekolah tinggi tinggi ujung ujungnya pengangguran! Sudah cukup 3D saja! Datang, Duduk, Diam lalu tunggu Ijazah keluar."
Ayah Diar meminum air segelas. Mak Ratih membanting sayur yang dia pegang.
"Lantas? Kau ingin anak ini jadi apa? Apa guna sekolah kalau gak dapat ilmu? Emangnya selama ini kamu yang biayai sekolah Diar? Nggak kan! Saya semuanya yang membiayai kebutuhan Diar! Kamu bekerja tapi tak pernah menghasilkan uang! Uangmu selalu kau berikan ke adik, Keponakan, Kakak dan keluargamu yang malas bekerja bisanya hanya meminta! Tanpa memberi sepeserpun kekami! Saya sudah cukup bersabar hanya karena memikirkan anak anak agar tidak menanggung malu punya keluarga yang bercerai kacau! Saat memberi anak anak pun selalu kau tanya sebulan kemudian masih ada atau tidak, Jika tak ada mulut kau mengoceh selalu! Lantas kau apa guna? Disuruh pergi tetap tak mau pergi dari sini!"
Mak Ratih menunjuk ke arah ayahnya Diar. Ayah diar langsung memukuli Mak Ratih dan Diar Tak bersalahpun ikut di dorong, Tak lama seketika saudara tertua Ratih masuk kedapur.