Hening. Tiada gemeresik dedaunan di depan jendela malam ini. Desau angin sedang terlelap pulas dan ia merindukan bunyi-bunyian berisik itu. Setidaknya, akan ada yang menghibur kesepiannya jika malam tiba dan menemani jiwanya yang sunyi.
Hari, minggu, bulan, mungkin juga bilangan tahun, entah berapa lama sudah berlalu. Yang ia ingat dalam memori, nyaris tidak ada. Bahkan, namanya sendiri pun bagai frasa samar yang menguap di dinding kamar.
Yang ia tahu, ia masih di sini untuk satu alasan sederhana. Gadis di hadapannya inilah yang membuatnya tidak bisa pergi. Kelopak mata gadis itu terpejam dan lengket oleh pasta pelembab kornea yang dua kali sehari tak pernah lupa dioleskan oleh perawat. Slang berseliweran keluar masuk rongga tubuh dan kulitnya. Badannya kurus berbalut tulang. Dengan wajah pucat dan kering, butuh berlapis bedak dan perona untuk membuatnya tampak hidup. Namun, apa peduli gadis yang sudah berada di antara garis tipis hidup dan mati itu? Tinggal selangkah lagi kakinya melampaui batas takdir, maka usailah sudah. Namun, ia masih tetap di sini untuk menunggui jasad tanpa nama yang bisa ia ingat.
Langkah kakinya tanpa suara mengitari ranjang tempat gadis itu berbaring dalam damai. Setidaknya, itulah yang terlihat oleh orang-orang. Namun, ia tahu pasti. Di dalam sini-jiwanya-gadis itu tidak pernah berdamai. Detak jantungnya sedang gelisah menunggu kabar tak pasti.
Lalu, derap kaki lain masuk mendekat. Ia pun menepi memberi ruang saat sosok itu duduk di sisi ranjang lantas menggenggam tangan sang gadis. Pemilik tangan itu adalah seorang wanita awal empat puluh. Wanita itu biasa mengunjungi sang gadis larut malam seusai puas memeras air mata di atas sajadah. Ya, inilah sebabnya kenapa si gadis masih bertahan. Doa-doa yang dilantunkan untuk dirinya tengah mencegah takdir dan mengunci serta dirinya. Apakah ini salah satu bentuk kemurahan atau justru penambah penderitaan? Ingin sekali ia bertanya.
“Nak, bertahanlah.”
Jantungnya berdegup mendengar kata-kata penuh harapan itu.
“Ibu akan selalu di sini hingga kau kembali ke sisi kami. Ibu tak akan pernah menyerah untukmu. Karena itu … cepatlah pulang.”
Jantungnya kembali berdegup dan hanya ia yang bisa mendengar.
Sampai kapan ia sanggup bertahan memenuhi permintaan wanita yang kini merebahkan kepala di sisi ranjang sang putri? Wanita yang tak lain-konon katanya-adalah ibunya.
Ibu … lihatlah! Aku di sini seperti yang Ibu minta.
Namun, tentu saja wanita itu tidak mampu mendengar kata-katanya. Sebaliknya, tangan wanita itu meraih mushaf yang berada di atas nakas. Setelah menyalakan lampu baca, wanita itu mulai pada kebiasaannya, lirih melantunkan ayat suci Al-Qur'an untuknya.
Ah, ia nyaris terlelap dalam damai menikmati. Walaupun demikian, ia tidak bisa beristirahat. Matanya kini selalu terjaga dan telinganya senantiasa mendengar.