Penjara Sukma

Ravistara
Chapter #2

Aku Kakakmu, Bukan Setan

Tidak ada yang lebih mengenal seseorang daripada keluarga mereka sendiri. Andai Suster Arini mengenal anak lelaki yang ada di hadapannya sekarang, mungkin suster itu akan menarik kembali ucapannya di depan Kamila yang bilang bahwa gadis itu dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Nyatanya, tidak semua.

“Kamil, tolong bantu Ibu mengganti seprei ranjang kakakmu, Nak,” panggil ibunya suatu hari kepada anak lelaki tanggung belasan tahun yang tampak bersungut memenuhi panggilan wanita itu.

“Sama Bik Marni saja, Bu!” Si bungsu yang baru menginjak usia remaja mengernyit jijik.

“Bik Marni tadi Ibu suruh ke pasar dan belum balik. Bantu Ibu sebentar saja, Nak. Kasihan Kamila, sepreinya sudah kotor dan basah. Nanti kulitnya bermasalah.”

Anak lelaki itu menggaruk rambut di belakang kupingnya gusar, tetapi tidak berani membantah. Dengan ekspresi jijik yang gagal ditutup-tutupi, ia menarik seprei di bawah tubuh Kamila dengan kasar selagi sang ibu memegangi tubuh kakaknya dalam posisi miring. Ia lemparkan seprei itu asal ke lantai lantas menepuk-nepuk tangan dengan nyaring untuk mengusir bekas tidak nyaman yang tertinggal.  

“Kamil, tolong pegangi kakakmu sebentar, Nak,” pinta ibunya lagi karena pekerjaan mereka memasang seprei baru belum selesai.

Tidak salah? Matanya terbeliak mendengar permintaan tambahan ibunya yang bernilai hukuman mati.

“Kamil?” panggil sang ibu lagi karena anak lelaki itu hanya diam mematung.

“Ayo sini, bantu Ibu.” Kini sang ibu setengah memaksa, masih dalam posisi menahan separuh bagian tubuh gadis yang terbujur kaku di lengannya. Anak lelakinya menurut dengan teramat berat. Beringsut mendekati tempat tidur.

“Nah, tahan seperti ini.” Ibu Ratih memberi tahu anaknya. Namun, remaja itu justru terpaku. Pahamlah sang ibu akan isi pikiran putranya. Ia lantas menyuruh Kamil mengambil seprei bersih yang sudah disiapkan dan membentangkannya. Akhirnya, Kamil mau juga, meskipun komat-kamit berdoa dahulu sehingga sang ibu heran.

“Gulung lalu sisipkan di balik punggungnya, Kamil.” Ibu Ratih kembali memberi petunjuk. Dengan tergesa-gesa, Kamil melakukannya. Setelah semua selesai, anak lelaki itu berlari keluar kamar meninggalkan ibunya tanpa memberi kesempatan kepada wanita itu untuk mengembalikan posisi kakaknya seperti semula.

“Hih, sialan!” Kamil mengumpat di kamarnya. Ia segera mandi dan mengganti baju seakan takut ada najis yang menempel di sana setelah melakukan kontak fisik dengan sang kakak.

Lihat selengkapnya