Pagi itu, rumah seperti kuburan. Hanya selentingan bunyi sudip menggores permukaan wajan serta desis minyak mendidih kala bumbu ulek dimasukkan ke sana yang membuat rumah terasa normal layaknya kebanyakan. Aroma bawang bercampur rempah segera menguar harum ke segenap penjuru. Bahkan, hingga ke luar jendela yang berbatasan tak jauh dari tembok tetangga. Siapa pun yang beruntung mencium, pasti berair liur.
Rumah itu terletak di Kota Batu Malang yang dingin. Meskipun dekat dengan spot rekreasi di pusat kota dengan alur lalu lintas cukup ramai, hawa tetap sejuk. Polusi seolah enggan menyapa kota nan asri ini. Begitu pula rumah Kamila. Berada tidak jauh dari jalan arteri, dengan halaman cukup luas, tidak kalah besar dari rumah-rumah sekitar; sebagian besar rumah di sana beralih fungsi menjadi tempat-tempat penginapan. Tidak sulit menemukan pemandangan indah dari gunung di halaman belakang rumah mereka.
Bik Marni baru saja selesai membantu sang nyonya rumah menata hidangan di meja makan. Kemudian, wanita itu pamit makan di belakang. Sengaja ia lakukan. Bukan tanpa sebab. Bukan pula karena ada peraturan bahwa ART tidak boleh ikut makan bersama yang empunya rumah. Namun, sudah sejak lama kebiasaan ini berlaku. Ada suasana tidak nyaman yang ingin ia hindari setiap pagi. Terutama sejak kemarin, saat si Kamil rewel. Terus-terusan mengeluh. Bik Marni tidak mau terlibat insiden di meja makan. Jadi, ia lebih memilih untuk menyingkir dan makan dengan damai di dapur saja.
Belum lama Bik Marni beranjak, keributan segera dimulai.
“Kamu nhomong apa, sih, Kamil?” Bu Ratih menegur putranya yang bicara tidak-tidak tentang sang kakak. Suaranya samar-samar kedengaran sampai dapur, ke kuping Bik Marni. Menguing-nguing seperti kepak lalat pengganggu.
“Ibu kenapa, sih, selalu membela Kamila dan tidak mau percaya omongan Kamil!” Anak laki-laki itu bicara sengit sambil meletakkan sendok dan garpu dengan bunyi berdenting nyaring. Di dapur, Bik Marni yang latah terkaget-kaget sambil menyebut istigfar. Tuan mudanya itu makin berani saja berkata kasar kepada ibunya. Namun sebaliknya, Bu Ratih tetap terdengar dingin menanggapi. Nyonyanya itu memang luar biasa sabar untuk ukuran orang tua dari dua orang anak bermasalah. Si sulung yang sedang koma dan menuntut perhatian seperti bayi, serta si bungsu yang banyak nian maunya. Minta ampun ….
“Kamu jangan bicara sembarangan tentang kakakmu, Kamil.”
“Bu, Cacan itu lihat sendiri Kamila berdiri di pintu kamar! Teman aku itu bisa menerawang. Jadi … apa, dong, yang dilihat Cacan kalau bukan setan?”
“Astagfirullah!” Bu Ratih terperenyak di kursi karena putranya mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal baginya.
“Hati-hati kalau bicara, Kamil. Kakakmu itu belum mati dan siapa tahu itu cuma wujud makhluk halus iseng yang menyerupai Kamila. Teman kamu pasti sudah salah paham!” Suara Bu Ratih meninggi sekarang.
“Udah, ah. Mau sampai kapan, juga, Ibu pasti selalu membela Kamila!”
Bunyi kursi berdecit, anak itu bangkit meninggalkan sarapan yang terbengkalai dan hanya sempat diaduk-aduk sebentar. Rupanya, Kamil memilih menghukum sikap sang ibu dengan mogok makan, dan itu berhasil telak.
“Sarapan dulu, Kamil!” teriak Bu Ratih memanggil putranya cemas. Namun, anak itu hanya menjawab asal sambil lalu tanpa sudi menoleh. “Di sekolah saja, Bu! Kamil malas sarapan sama setan!” Ia bahkan tidak mengucap salam.
“Astagfirullah ….” Punggung Bu Ratih makin lengket menempel pada sandaran kursi. Lagi-lagi, ia mengurut dada mendengar perkataan putranya barusan. Sungguh kasihan nasib sang kakak, Kamila. Tidak kunjung pulih kesadaran gadis itu, masih harus diterpa oleh fitnah yang keji pula. Apalagi keluar dari mulut Kamil, adiknya sendiri.
Kamila mengawasi dari kursi biasa tempat ia duduk selagi Bu Ratih menoleh ke kursi itu, membayangkan saat putrinya masih sadar dan biasa menghabiskan pertengkaran setiap pagi. Menu rutinitas sarapan bersama adiknya. Biasanya, topik pertengkaran mereka adalah bentuk eksploitasi dari dua bersaudara itu sendiri.
Kamila dan Kamil memang kurang akur dari dulu lantaran Kamil cemburu, merasa Kamila lebih diistimewakan sebagai anak sulung dan juga perempuan. Bu Ratih merenung. Padahal selama ini, wanita itu sudah berupaya adil terhadap kedua anaknya dan memperlakukan mereka sesuai fitrahnya. Tapi …, harus ia akui. Kamila memang berbeda, baik dari segi tuntutan fisik maupun hak istimewa lainnya sebagai anak tertua. Kamil mungkin hanya kebagian icip-icipnya saja. Walau dalam segelintir hal, bujang itu lebih beruntung dibandingkan kakaknya.