Seorang pemuda sedang duduk termenung di ruang tamu. Matanya berkelana mencari sesuatu di balik dinding bercat kuning hangat yang mengingatkannya pada seseorang. Gadis berkuning langsat yang sedang berada di balik sebuah tembok. Bahkan, pemuda itu sempat membayangkan jika si gadis mungkin sedang mengamatinya dari suatu tempat yang tak terlihat.
Gadis itu seolah bergerak dalam kelebatan di dinding yang diam menemani dalam kebisuan. Pupilnya mencoba menangkap jejak samar di sekitar. Bukan lantaran penasaran, tetapi lebih akibat keresahan akan sesuatu yang tak ia ketahui jawabannya. Sebuah misteri yang menuntun ia kembali ke sini untuk mencari tahu.
“Nak Putra, diminum dulu tehnya.” Bu Ratih mempersilakan.
Pemuda itu terkesiap. Gadis dalam pikirannya segera terusir keluar oleh teguran seorang wanita yang duduk di hadapannya sedari tadi. Segera saja ia menyadari ada yang salah pada dirinya. Padahal, baru sebentar ia bertandang ke rumah ini. Sekujur tubuhnya merinding tanpa sebab dan pikirannya melantur ke mana-mana.
“Eh, terima kasih, Bu.”
Pemuda yang baru tiba di gerbang kedewasaan itu tersenyum canggung seraya mengambil cangkir yang masih mengepulkan uap dari atas meja. Ia memang butuh minum sekarang. Ia syok. Bagaimana tidak? Nyaris setahun berpisah dengan Kamila setelah lulus SMA, baru sekarang ia mendengar kabar bahwa adik kelasnya itu sedang terbaring koma dengan bilangan bulan yang nyaris sama dengan kepergiannya. Asal tahu saja, Kamila bukanlah adik kelas biasa, tetapi juga teman masa kecilnya sejak SD. Mereka saling mengenal satu sama lain. Bahkan, SMP dan SMA pun mereka kembali bersekolah di tempat yang sama. Benar-benar berjodoh, kata orang. Sayang, guyonan itu kini membuatnya terbebani setengah mati.
“Waktu itu, Kamila sempat sedih mendengar kabar kepergianmu ke Bandung.”
“Jatinangor, Bu,” sahut pemuda itu meluruskan. Orang-orang memang sering salah mengira tempat kuliahnya itu ada di Bandung. Namun lebih tepatnya, di pinggiran Kota Bandung, di Kecamatan Jatinangor. Yah, ia masih ingat memang betapa kecewanya Kamila ketika ia bercerita akan kuliah di sana. Kenapa harus jauh-jauh ke sana, tanya gadis itu. Padahal di kota kelahiran mereka sendiri, Malang, terdapat universitas-universitas ternama yang sering menjadi tujuan para mahasiswa dari seluruh nusantara. Ya, mau bagaimana lagi? Berkuliah di ITB adalah cita-citanya sejak dulu. Obsesi akan universitas dan fakultas impian telah mengalahkan seluruh rasa yang mampu membuatnya tetap tinggal di Malang. Termasuk janji kebersamaannya dengan gadis itu. Juga kenangan-kenangan indah masa remaja mereka.
“Maaf, ya, Nak Putra. Pasti Kamil, ya, yang memberitahu Nak Putra soal kabar Kamila? Padahal, Nak Putra baru saja pulang liburan,” ujar Bu Ratih tampak menyesali. Wanita itu tidak punya prasangka apa-apa untuk mempertanyakan motif tindakan putranya. Ia pikir, ini hanya bentuk kepedulian Kamil akan upaya kesembuhan sang kakak.
“Ah, enggak apa-apa, Bu. Justru saya minta maaf baru bisa menengok sekarang. Terus terang, saya kaget tidak menyangka apa yang terjadi pada Kamila. Jadi, kejadiannya sudah lama, ya, Bu?”
Bu Ratih mengangguk.
“Persisnya kapan, Bu?”
“Hari Nak Putra berangkat.”