“Kau sudah sadar, Theo? Bagaimana perasaanmu?” Sebuah suara lembut menyapanya, seperti biasa. Bahkan tanpa perlu Theo melihat pemilik suara itu, Theo sudah mengetahuinya, siapa lagi kalau bukan Rain-nya.
Theo mengerjapkan mata, terlihat langit-langit bercat putih, cahaya lampu yang temaram. Dia menoleh ke sebelah.
Roy lantas mendekapnya erat, hinga membuatnya sesak napas. “Akhirnya kau sadar, Kawan. Aku pikir kau tidak akan selamat.”
“Kalau Theo tidak kau lepaskan, mungkin dia akan kembali ke penciptanya saat ini juga,” ujar Mely, menggeleng-gelengkan kepala.
“Eh?” Roy segera melepas dekapannya, dia membantu Theo duduk, menyandarkan punggungnya di dinding. “Maaf Theo. Aku terlalu bahagia.”
Theo mengangguk. Mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kelambu hijau tua sebagai pemisah berkibar-kibar diterpa angin, ranjang-ranjang berukuran sedang berada di ruangan itu, persis salah satunya ia tumpangi. Bau anyir obat-obatan menusuk hidungnya. Tidak salah lagi dia berada di ruang kesehatan.
Seperti sebuah tawon menyengatnya, ia melotot-kan matanya, tersadar. Tidak seharusnya dia berada di ruangan yang paling dibencinya. “Ayo kita kembali. Aku sudah bosan berada di sini.”
“Kau bisa istirahat sejenak Theo.” Itu suara Raini, berkata pendek.
“Aku bisa istirahat di rumah.” Theo tersenyum, dalam hati berdoa agar teman-temannya menyetujui permintaan kecilnya.
Ayolah! batinnya. Dia sudah tidak bisa menahan bau anyir obat-obatan itu, mereka sangat menyebalkan, membuat hidung sesak. Dadanya terasa diimpit keras.
“Baiklah. Tapi sebelum itu terima dulu penghargaan ini.” Roy menyetujui. Dia mengenakan kalung medali perunggu di leher Theo. Lantas memberikan piagam sebagai penghargaan atas kemenangan Theo.
Theo tersenyum, bersyukur dalam hati karena teman-temannya mau menerima permintaan kecilnya tanpa perlu bertanya ini-itu.
“Tadi kau tidak sadarkan diri, sehingga pihak dari perlombaam tidak bisa memberikan penghargaan secara langsung itu kepadamu.” Mely menjelaskan tanpa perlu diminta.
Theo tersenyum lagi, mengangguk. Mengucapkan terima kasih. Theo melirik Raini, entah kenapa gadis itu tampak pendiam, sedari tadi dia hanya megucapkan sepatah-dua patah jika diperlukan. Apa apa dengannya?
Theo, dan Raini menumpang mobilnya Mely. Sedangkan Roy membawa motor Theo, motor yang dikendarai Roy melesat dengan cepat menuju rumah Theo.
Theo menyandarkan punggungnya di jok mobil, melirik sopirnya Mely yang andal, membanting setir ke kanan atau kiri.
Di jok mobil belakang, Mely tampak sibuk dengan ponselnya, terkadang sesekali dia mengajak bicara sopirnya atau pun Theo.
Theo melirik ke jok belakang. Raini sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Jika Mely menanyainya sesuatu, dia hanya akan mengangguk, menggeleng, atau bergumam. Theo merasa ada yang salah dengannya, apa dia marah dengan Theo?
Tiga puluh menit perjalanan. Mereka kini sampai di rumah Theo.
“Baiklah, Theo. Kau sekarang bisa beristirahat, kami akan pulang agar tidak menganggumu. Cepat sembuh, ya!” Roy menepuk pelan bahu Theo.
Theo mengangguk, tersenyum.
***
Esoknya, hujan membungkus kota. Dedaunan di luar rumah basah, guntur terdengar saling sahut-menyahut. Keras. Memekakkan telinga.
Air hujan menimpah atap-atap rumah, menghantam jendela-jendela rumah, menimbulkan irama yang terdengar indah di telinga. Mungkin itulah cara pandang Theo, setidaknya suara itu bisa menghiburnya di kala dirinya sendiri.
Theo menyibak gorden di kamarnya, membuka jendela. Udara dingin berebut masuk, menusuk kulitnya. Bajunya tertimpa air hujan, membuatnya basah. Tidak masalah. Dia menyukai hujan.
Theo memandang ke luar, hujan membuat pemandangan kota lebih mengasikkan. Taman tampak lengang, walaupun begitu beberapa dari mereka sibuk berlalu lalang, menggunakan payung masing-masing. Tak peduli hujan menguyur, dingin menusuk kulit. Hujan tak dapat mengusik aktivitas mereka.
Pandangan Theo beralih ke depan, terlihat rumah tetangganya. Rumah itu tampak tenang dan feminim dengan cat berwarna krem menghiasi.
Mata Theo tidak sengaja bersitatap dengan pemuda yang berdiri di balkon kamarnya, masih dengan menggunakan piyama miliknya yang berwarna kelabu. Dia Juna.
Theo menggepalkan tangannya kuat, wajahnya terlihat menegang. Juna juga menunjukkan ekspresi yang tidak jauh dari Theo, kesal. Wajah Theo sama sekali tampak tidak bersahabat, berbanding terbalik dengan yang ia tunjukkan selama ini pada teman-temannya.
Theo menutup jendela dan gorden. Muak melihat wajah Juna. Dia keluar kamar, berjalan menuruni tangga dengan langkah gontai. Entah kenapa dia merasa perasaannya tidak enak, Theo menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Dug!
Theo mendesis, menggosok-gosok kepalanya yang terbentur tiang berpualam. Berseru jengkel, menyalahkan posisi tiang itu yang tidak tepat. Walau dia sepenuhnya sadar tiang itu tidak salah melainkan salahnya sendiri yang tidak memperhatikan jalan. Entahlah, hatinya kali ini sedang kacau. Bercampur aduk.
Theo berlari menuruni tangga, segera ke dapur. Mengambil mie instan di lemari, memasaknya dengan cepat. Jangan remehkan kemampuannya, dia bisa memasak. Tapi hal itu tidak berlaku jika dia sedang malas, seperti saat ini. Memilih yang lebih praktis dan instan.
Sejak kecil ibunya senang sekali mengajari Theo memasak. Pernah sekali Theo protes, dirinya bukan anak perempuan.
Ibu Theo hanya tersenyum, mengacak pelan rambut Theo. “Semua keluarga kita bisa memasak, Nak. Tak peduli lelaki atau perempuan, bahkan Ayah dan Kakekmu bisa memasak. Itulah tradisi keluarga kita. Dengan kau bisa memasak masa depanmu lebih terjamin. Bila seandainya kau sedang sendiri dan tidak ada siapa-siapa di rumah, kau tak perlu susah payah memikirkan makanan. Kau bisa memasaknya sendiri.”
Theo masih ingat betul ibunya berkata di saat umurnya sepuluh tahun. Waktu itu Theo hanya bisa mengangguk. Tidak sepenuhnya mengerti kalimat ibunya.