Penjelajah Waktu

Varenyni
Chapter #6

6. Hadiah

Hari berjalan seperti biasa. Selalu membosankan. Seperti pagi ini, Theo mendapat telepon dari ayahnya, katanya dia akan dipindah tugaskan di Jepang sana. Ada sebuah penelitian penting yang akan diteliti di sana. Theo semakin merasa jauh dari ayahnya. Dan tiga hari yang lalu ibunya juga memberitahukan kepada Theo, ibunya juga dipindah tugaskan ke Inggris karena harus melatih berenang sembari mengurus kariernya. Ibu Theo selain seorang wanita karier, dia juga atlet renang yang berbakat.

Kenapa Theo merasa dirinya seperti anak yang ditelantarkan? Theo menacak rambut frustasi, melirik Roy yang sedang berkutat dengan buku dan pensilnya. Suasana kelas ramai, seperti biasanya, jika guru yang mengajar belum juga hadir.

“Hei, Roy, sepertinya kau sibuk sekali? Apa yang kautulis di buku itu?” tanya Theo.

Roy menyengir lebar. “Seperti biasa, potongan ide-ide yang tidak sengaja muncul. Jadi aku menuliskannya di buku ini dulu. Agar tidak terbang dan hilang selamanya.”

Theo termanggut-mangut paham. Roy, salah satu temannya yang mempunyai hobi menulis cerita, kadang kala Roy mengirimkan beberapa cerita pendek ke Theo, alasannya untuk sekadar penyemangat atau pemberi motivasi. Salah satu impian terbesar Roy, dia ingin karyanya dikenang dan bermanfaat sepanjang masa. Dia ingin menjadi seorang novelis.

Salah satu anak lelaki lari masuk ke dalam kelas, berbisik kepada teman-teman, “Diam, gurunya sudah datang.”

Theo menghadap ke depan, pandangannya tak sengaja bertemu dengan mata Raini yang kebetulan sedang menghadap ke belakang. Theo hanya bisa tersenyum kikuk, sejak kejadian kemarin, Raini tampak berbeda. Entahlah apa yang terjadi dengannya saat ini.

***

“Apa kau mau ikut dengan kami, Raini, Theo?” tanya Roy saat lima menit setelah bel pulang berbunyi.

Raini menghentikan aktivitasnya—mengemasi barang-barang ke dalam tas—menoleh ke Roy dan Mely yang sedang cengar-cengir tidak jelas.

“Ke mana?” tanya Theo dan Raini hampir bersamaan, membuat Mely yang sedang meminum air mineralnya tersedak.

“Kompak sekali jawaban kalian,” cibir Mely seraya melemparkan botol minuman yang telah tandas ke tempat sampah.

Raini dan Theo saling pandang selama beberapa detik. Tertawa, lebih tepatnya menertawakan diri sendiri.

“Kami akan pergi ke festival malam ini ... yah, untuk jalan-jalan, bermain permainan, menghilangkan penat. Apa kalian bersedia ikut?” Roy bertanya lagi.

Theo melirik Raini, seperti bertanya lewat tatapan matanya. Raini mengangguk, Theo menghela napas pelan, berujar mantap, “Baiklah, kami ikut.”

Air muka Roy terlihat senang bukan kepalang. “Baiklah, sudah diputuskan. Malam ini, kita berempat akan pergi ke festival. Kita semua berkumpul di rumah Theo setelah sholat Isya’, bagaimana? Setuju?” Roy menilik wajah teman-temannya.

“Ya, setuju.”

Mereka tidak akan menyangka, jika pertemuan keempat sahabat malam nanti akan menjadi pertemuan yang terakhir. Karena salah satu dari mereka lebih disayang Tuhan, pulang lebih dulu kepada-Nya.

***

Malam harinya, mereka telah sampai di festival tepat waktu. Suara hiruk pikuk keriangan terdengar di segala penjuru lapangan yang disulap sebagai tempat penuh hiburan itu. Sejauh mata memandang, terlihat penjual dan pembeli yang melakukan transaksi jual beli, wahana-wahana yang menguji adrenalin berdiri kokoh. Lampu-lampu hias berkelap-kelip, ditambah dengan cerahnya malam ini, suasanya menenangkan.

Theo mendongkak, tersenyum, suasana seperti ini membuatnya bahagian dan nyaman.

Roy menjawil lengan Theo. “Ayo kita pergi ke sana.”

Theo mengangguk, mengikuti langkah Mely dan Raini yang sudah berjalan di depan. 

Saat di tengah jalan, Mely tiba-tiba berhenti di salah satu penjual, mengajak Raini untuk membeli beberapa boneka. Raini menggeleng, dia tidak suka membuang-buang uang dengan membeli boneka. Mely menghela napas kecewa.

Tentu saja, batin Theo, tersenyum miring. Dia tahu Raini tidak menyukai boneka, yang Raini sukai adalah novel.

Roy menyikut Theo, berbisik pelan, “Kudengar kau sudah menyatakan perasaanmu padanya, bagaimana hasilnya? Apa dia menerimamu?” Roy bertanya, sangat penasaran.

Theo tidak menjawab, dia memasukkan tangannya di saku hoodie berwarna biru-nya. Melangkah, mengikuti Mely dan Raini menuju salah satu wahana yang sudah disepakati bersama untuk dinaiki.

“Jangan membuatku penasaran, Theo. Ayo jawab!” Roy berseru jengkel, membuat Theo terkekeh geli.

Theo mengibaskan tanggannya di depan muka Roy yang menggembung. “Baiklah, akan kujawab. Dia tak memberi jawaban, dan aku juga tidak memintanya untuk menerimaku, aku tidak ingin dia menerimaku. Bagaimana? Kau puas?”

Lihat selengkapnya