Satu tahun melesat dengan cepat. Tidak terasa Theo sudah menginjakkan kaki di penghujung kelas.
Theo sekarang berubah, setidaknya itulah yang dia dengar dari kasak-kusuk teman-temannya. Theo yang dulu sudah tiada, Theo yang selalu tersenyum ramah, Theo yang selalu gemar mengomentari karya Roy, Theo yang selalu terlambat saat masuk kelas, Theo yang selalu mengucapkan selamat pagi pada siapapun yang dikenalnya.
Tidak ada. Theo yang dulu sudah mati bersamaan dengan kematian Raini.
Sekarang dia sangat dingin, penutup, tidak banyak bicara, raut wajahnya tidak pernah terlihat bahagia, bahkan dia sampai lupa caranya untuk tersenyum. Matanya selalu menunjukkan sorot yang tajam dan penuh amarah. Membuat teman-temannya takut untuk sekadar mencari gara-gara dengannya.
Theo menghembuskan napas kesal, suasana kelas yang berisik, mengganggu indra pendengarannya.
Bel istirahat berbunyi nyaring. Tidak terpengaruh. Biasanya, mereka akan berteriak girang, dengan cepat melesat keluar, ke kantin. Namun tidak dengan hari ini, mereka sudah bersorak gembira beberapa jam sebelum bel istirahat berbunyi.
Jam kosong. Guru yang mengajar sedang melahirkan. Suatu momen yang menggembirakan karena terbebas dari pelajaran. Tetapi tidak untuk Theo, dia akan tertinggal materi pembelajaran. Bukannya dia mau bersikap sok, masalahnya, ujian hanya tinggal menghitung hari, dan jika kelasnya tertinggal pelajaran, otomatis dia tidak akan bisa mengerjakan ujian.
Arrgh! Entahlah. Theo mengacak rambutnya, entah setan apa yang telah merasukinya, kini dia benar-benar menjadi anak yang rajin belajar.
Roy menjawil bahu Theo, bertanya dengan hati-hati, "Apa kau mau ikut kami ke kantin, Theo?"
Theo menggeleng, ia menelungkupkan wajah di meja. Wajahnya sangat pucat dan terlihat jelas kantung matanya yang hitam.
Roy menghela napas, harus dengan cara apa lagi Roy harus membujuk Theo agar kembali seperti dulu.
Roy menoleh ke Mely sejenak. "Kau pergi dulu saja, Mely."
Mely mengangguk. "Baiklah."
Dia segera keluar kelas.
Roy duduk kembali di kursinya. Menjitak kepala Theo. Sontak, Theo mengangkat kepalanya, hendak marah, memprotes, tetapi dia urungkan karena melihat ekspresi masam Roy.
"Kau tidak bisa seperti ini terus-menerus, Theo. Apa kau tidak lelah membohongi dirimu sendiri? Aku menginginkan Theo-ku yang dulu kembali. Ke mana Theo yang dulu selalu mengomentari karya-karyaku? Ke mana dia? Dan kenapa dia sekarang berubah jadi orang lain? Tidak emnganggap diriku sebagai teman lagi," Roy berkata sarkastis.
Theo tidak menjawab, dia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Perkataan Roy selalu masuk ke hatinya, entah sihir apa yang digunakan Roy. Dia selalu sukses membuat Theo terbungkam.
"Aku tahu kau masih bersedih karena kehilangan Rain-mu." Roy memandang Theo, ekspresi Theo tampak marah.
Roy melanjutkan perkataannya. "Lihatlah, kau masih marah jika aku memanggilnya dengan nama 'Rain'. Oh, ayolah, terus-terusan berduka itu tidak baik, yang lalu biarlah berlalu."
"Tapi dia orang yang kusayangi! Bagaimana aku bisa melupakannya!" Intonasi Theo menaik.
"Aku tidak memintamu untuk melupakannya!" Entah kenapa Roy juga ikut-ikutan emosi.
Roy menghela napas, dia harus sabar. "Dengan kau terus-terusan bersedih seperti ini, apakah Rain-mu akan bahagia di alam sana? Tidak bukan?"
Theo tercengang, perkataan Roy ada benarnya juga. Selama setahun ini Theo tidak memikirkan hal itu. Bodoh sekali dia!
"Hidup memang sepahit obat-obatan dan kapsul-kapsul yang kau benci itu, Theo. Hidup memang sekasar batu karang, tidam semulus yang dibayangkan. Namun percaya saja pada takdir, jalani saja sebagaimana mestinya.
"Walau obat itu sangat pahit, nyatanya, obat itu sangat berguna, dapat menyembuhkan orang sakit. Ibarat dalam kehidupan nyata, kau harus rela menelan pahitnya pil, agar nanti kau dapat merasakan enaknya hidup yang manis. Kita harus merasakan pahit dulu agar tahu indahnya rasa manis." Roy tersenyum.
Theo menelan ludah. Bagaimana dia mau menelan pil kalau dirinya sendiri takut pada pahitnya? Dan bagaimana Theo bisa merasakan manisnya hidup jika sebiji kepahitan hidup pun takut ditelannya?
Roy tersenyum, sepertinya ceramahnya barusan berhasil membuat Theo tersadar.
Di detik berikutnya, Theo baru menyadari. Bagaimana Roy bisa tahu kalau Theo tidak menyukai obat-obatan dengan rasa yang super pahit itu?
"Aku sudah tahu kalau kau tidak suka dengan bau-bau obat yang ada di UKS, apalagi menelannya. Aku mengetahui itu dari ... Raini sebelum kau ikut perlombaan renang setahun lalu." Roy menjelaskan, seperti bisa membaca pikiran Theo.
Theo hanya termanggut-manggut.
Roy beranjak berdiri. "Aku juga tahu kau memiliki rahasia besar yang tidak diketahui siapapuj. Tentang proyek itu ... jika kau bertanya dari mana aku mengetahui hal itu, jawabannya ...." Roy menghentikan ucapannya sejenak, dia membusungkan dada.
"Karena kemampuan stalking-ku, hebat bukan?" Roy hendak melangkah keluar, tapi segera terhenti ketika terdengar suara Theo menyahut.
"Bagaimana kau bisa tahu? Maksudku, tidak mungkin aku meninggalkan jejak, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui proyek itu," ucap Theo, dia menarik kembali Roy agar tetap duduk di kursi.
"Well, sebenarnya ini mudah, aku sudah curiga sejak kelas sebelas. Dan kecurigaanku itu benar, di saat aku tidak sengaja menemukan pola yang kau gambar di buku sketsamu yang tertinggal di loker. Aku tidak menyangka kau bisa membuat alat seperti itu---walau aku sendiri tidak mengerti alat apa yang kau buat. Aku tidak terlalu paham alat apa yang kaubuat. Melihatnya saja membuat sakit kepala, apalagi membuatnya. Jadi, kusimpulkan saja kau membuat sebuah proyek besar." Roy menggambar lingkaran besar di udara dengan tangannya.
Theo menghela napas, bagaimana sampai ketahuan?
"Dan ya, satu lagi, aku akan berkunjung ke rumahmu sepulang sekolah, aku ingin bertemu Theo yang dulu, bukan Theo sekarang yang sangat dingin itu. Aku juga ingin melihat alat yang kaubuat itu, jangan melarangku untuk datang, oke? Jangan terlalu penutup," ujar Roy dengan wajah serius, lantas dia ke luar kelas.
Theo mengusap wajah. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk memberitahukan teman-temannya tentang temuannya? Apa reaksi dari mereka? Apa mereka suka? Atau tidak?
Baiklah! Kalau begitu Theo akan menunjukkan temuannya itu!
***