Penjelajah Waktu

Varenyni
Chapter #9

9. Uji Coba

Esoknya, Roy datang lagi ke rumah Theo, dia ingin meminta maaf. Mungkin, ucapannya kemarin sangat menyakiti hati Theo hingga dia langsung enyah dari hadapannya.

“Aku tidak marah padamu, seperti anak kecil saja. Waktu itu, aku hanya ... membutuhkan waktu sendiri.” Theo mengangkat bahu tak acuh, menjawab pertanyaan Roy saat Theo mempersilahkan Roy duduk di sofa.

Kali ini Roy datang sendiri, tidak ditemani Mely seperti biasanya. Mely sedang belanja dengan teman-teman perempuannya. Itu jawaban Roy saat Theo menayakan keberadaan Mely.

Theo hanya mengangguk. Dia tahu, Roy paling tidak suka jika disuruh menemani Mely berbelanja, sangat membosankan. Dan itu benar, Theo juga pernah merasakannya. Menunggu perempuan berbelanja satu jam saja, terasa satu abad baginya.

“Apa kita jadi melakukan ‘uji coba’ itu hari ini, Theo?” Roy teringat sesuatu akan tujuannya datang ke rumah Theo.

“Iya.” Theo menjawab pendek. 

Notifikasi dari ponsel Theo berbunyi, dia segera membuka SMS yang masuk, kerutan di dahinya muncul. Dengan gesit jarinya mengetikkan pesan, membalasnya, lantas memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

“Kenapa?” tanya Roy demi melihat ekspresi masygul dari Theo.

Theo mengangkat bahu tak acuh. “Tidak apa-apa, ayo naik ke atas.”

Roy mengangguk, tidak banyak bertanya. Walaupun dia tahu ada sesuatu yang lagi-lagi disembunyikan Theo, ekspresinya menunjukkan begitu.

Roy setidaknya tahu sedikit-sedikit tentang cara membaca ekspresi manusia. Dia banyak belajar dari kakaknya yang pakar membaca ekspresi manusia. Dan mempelajari hal itu sangat menyenangkan, engkau bisa mengerti jika lawan bicaramu berbohong atau tidak.

Theo membuka pintu kamarnya, masih berdecit nyaring, tetapi tidak senyaring kemarin. Kamar Theo sedikit-sedikit lebih rapi, bersih, dan tertata. Roy terkekeh, mungkin karena Theo diomeli Mely kemarin, sehingga dia lebih rajin.

Seperti yang dikatakan Theo tadi malam lewat telepon, dia meminta Roy untuk datang ke rumahnya. Theo hendak menguji coba Kapsul-nya, dan Roy menjadi orang yang terberuntung karena dapat menjelajahi waktu, setidaknya itulah yang dipikirkannya.

Theo membuka gorden, membuat cahaya matahari berebut masuk, silau mengenai mata. Theo membuka jendela, melangkah ke luar kamar, menuju balkonnya.

Roy yang sedang sibuk melihat-lihat Kapsul Theo menoleh, mengikuti Theo, melangkah ke balkon. Roy menumpuhkan tangannya di pagar pembatas, menatap garis cakrawala dengan takzim, gumpalan awan putih bergerak teratur, udara semilir-milir yang berembus, memainkan rambut. Pohon-pohon di taman terlihat bergoyang seiring angin melewatinya, anak-anak bermain riang, akhir pekan yang menyenangkan bagi mereka.

“Cuaca hari ini indah ya?” Tanpa sadar Roy mengucapkan hal itu.

Theo menoleh, menjawab singkat, “Iya, kau benar.”

Theo menunduk, melihat jam tangan berwarna hitam miliknya yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Theo mengangkat kepala, memejamkan mata sejenak, sudah waktunya. Baiklah.

“Ayo kita masuk, Roy. Ayo kita uji coba alat itu sekarang.” Theo melangkah masuk, Roy mengangguk, lantas ikut masuk ke kamar.

Roy menghentikan langkahnya, teringat sesuatu. “Eh, Theo, kalau kita naik ke mesin waktu itu dengan kecepatan yang tinggi, apakah tubuh kita bisa tahan dengan tekanan yang disebabkan kecepatan tinggi itu?”

Theo menjawab tanpa menoleh ke lawan bicaranya, “Tubuh kita tidak memang sulit untuk bisa tahan dengan tekanan yang tinggi itu. Tapi bukan mustahil, aku sudah memikirkan hal itu. Jadi ... aku membuat jaket antiudara, ini, pakailah!” Theo melemparkan jaket berwarna hitam yang diambil dari lemarinya.

“Dan di dalam alat itu, aku mengatur agar gravitasinya berlawanan. Contohnya, jika kita naik alat itu, badan kita akan terasa tertarik ke belakang, dan alat itu secara otomatis akan menarik tubuh kita ke depan, kebalikannya, jadi tubuh kita seimbang .... Jangan kau tanya ‘bagaimana bisa?’, aku bingung menjelaskannya.” Lanjut Theo kemudian.

“Ya, baiklah.” Roy mengenakan jaket pemberian Theo, setengah bergumam.

“Ayo kita mulai sekarang,” kata Theo, dia mengambil hoodie kelabu pemberian Raini, dan mengambil masker berwarna kelabu, lantas dimasukkan ke dalam saku hoodie-nya. Menyampirkan jaket hangat itu di punggungnya.

“Kalau kau sudah memakai jaket antiudara itu, kenapa kau masih membawa jaket dari Raini, itu?” Roy bertanya, mendekati Kapsul.

“Jaket ini jaket kesayanganku, akan kubawa ke mana saja, dan aku akan melepas jaket antiudara ini jika sudah sampai, lalu memakai jaket pemberian Rain.” Theo tercekat mengucapkan kalimat akhirnya, dia terdiam sejenak.

Theo menghela napas, sudahlah! Jangan terlalu bersedih!

Theo mendekati rak-rak bukunya. Roy menyandarkan punggungnya di Kapsul, hanya memperhatikan Theo tanpa banyak komentar. Theo menyingkirkan beberapa buku, hingga terlihat miniatur kuda berwarna putih, dia menekan miniatur itu.

Sejenak, Roy tidak mengerti apa yang dilakukan Theo, tapi di detik berikutnya, Roy terkejut. Tiba-tiba saja lantai kamar bergetar, Roy berseru panik.

Rak-rak buku itu merekah, memperlihatkan ruangan lain yang gelap. Roy membelalakkan matanya. Mana mungkin? Bukankah itu ruangan rahasia?

“Bagaimana ada ruangan itu?” Roy bertanya, setengah kagum, setengah tidak percaya.

“Ayahku yang membuatkannya sejak rumah ini dibangun. Sudahlah Roy, tidak perlu melongo seperti itu.” Theo terkekeh, Roy buru-buru menutup mulutnya.

“Bisahkah kau tolong aku untuk mendorong Kapsul ini ke dalam ruangan gelap itu.” Theo melambaikan tangannya di depan wajah Roy.

Roy pun segera tersadar. “O-oke.” Dia terdiam sejenak. “Eh, tunggu sebentar ... kalau kita hendak menggunakan alat itu, kenapa kau memintaku untuk memasukkan alat itu ke dalam sana?”

“Karena landasannya berada di sana, sudahlah jangan banyak tanya, lama-lama kau itu seperti pacarmu,” Theo menjawab setengah bercanda.

Roy hanya mendengus, mendorong Kapsul itu bersama-sama.

Theo menyalakan lampu di ruang rahasia itu, lantas menutup ruangan itu.

Untuk sesaat Roy kagum dengan ruangan itu, ruangan itu lebih besar daripada kamar Theo sendiri. Alat-alat yang biasanya ada di laboratorium sekolah berjejer manis di ruangan itu. Dan juga alat-alat yang rumit lainnya, semua ada di sini, bahkan Roy tidak tahu apa nama dan kegunaan alat-alat itu.

Roy termanggut-manggut, menyadari sesuatu. Itulah kenapa Theo selalu bisa menyelesaikan tugas sains-nya, dia mengerjakan sendiri di rumah. Padahal kalau di sekolah dia tampak bandel, tidak pernah sekalipun dia menyetuh alat-alat yang ada di laboratorium, menyentuh pipet pun dia tidak pernah.

“Roy?” Theo memanggil sahabatnya.

Lihat selengkapnya