Matahari sudah bersinar cerah. Tangan Theo semakin gemetar, dua persen lagi perbaikan alatnya akan selesai.
Dia duduk sejenak, tadi malam merupakan pengalaman yang sangat menegangkan. Bagaimana tidak? Dia seperti seorang maling, melompat keluar dari rumah Lyan melalui jendela, berjalan mengendap-endap. Theo sempat bertemu Aelia.
“Mau ke mana, Theo-kun?” tanya Aelia malam tadi.
“Tidak ke mana-mana. Maaf, aku sedang buru-buru.” Theo hanya mengatakan hal itu, entah bagaiman ekspresi Aelia. Theo meneoleh ke belakang, sudah tidak terlihat batang hidung Aelia, ke mana dia?
Tidak, Theo tidak akan tega meninggalkan teman-temannya dan pergi sendiri dengan alatnya, Theo sudah menuliskan surat kepada Roy, saat cahaya mentari sudah muncul, dia dan Mely harus bergegas menemuinya di markas yang disediakan ayah Lyan.
Theo bergerak resah, mondar-mandir. Apakah Roy tidak membaca pesannya?
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki. Theo mengembangkan senyuman, mungkin itu Roy dan Mely sudah datang. Baiklah, saatnya pulang.
“Hai Theo, kau tampak terkejut, kenapa?” Itu suara Lyan. Senyum Theo mengendur, dia tampak terkejut.
“Eh, i-tu, tidak apa-apa. Aku hanya, lelah,” jawab Theo. Kembali terngiang percakapan Lyan dan ayahnya tadi malam, anak itu cukup berbahaya.
Lyan membenarkan posisi kacamata putihnya, menatap penuh selidik ke arah Theo.
Theo mencoba bersikap biasa, seperti tidak mengetahui apa-apa. Namun dia memang anak yang tidak pandai berakting. Theo melirik kapsulnya, satu persen lagi perbaikan alat itu akan selesai, dan mereka akan kabur secepatnya.
“Kau akan kabur?” tanya Lyan seakan bisa membaca pikiran Theo.
Theo mengernyitkan dahi, bagaimana bisa dia membaca pikirannya? Bagaimana jika Lyan tahu kalau Theo sudah mengetahui rencana Mr. Lim?
“Bagaimana aku bisa membaca pikiranmu? Itu sangat mudah, lihat kacamata ini! Ini bukan kacamata biasa, teknologi ini bisa membaca pikiran orang, apapun yang kaupikirkan, di kacamata ini akan keluar seperti tulisan dari tubuhmu. Oh ya, jangan sekali-kali kau berpikir akan kabur, atau aku akan melakukan kekerasan.” Lyan mengepalkan tangan. Wajahnya yang biasa terlihat seperti malaikat yang manis dan polos, kini tergantikan seperti seringaian seorang iblis.
Rencana pertama gagal. Theo harus secepatnya memikirkan cara yang kedua. Lari. Belum sampai sepuluh langkah Theo berlari, Lyan sudah berhasil menyusulnya, air mukanya tampak menyebalkan.
“Hei, kau lupa, Theo, aku memiliki segala alat canggih. Walaupun kau berlari sekencang apapun, aku tetap bisa menyusulmu.” Lyan memutar tangan Theo, membuat tulang-tulangnya gemetak.
Theo segera menendang perut Lyan, membuat anak itu terpental. “Aku akan tetap pergi, aku tidak ingin orang tua itu memanfaatkanku!”
Lyan menggeram, menekan tombol di kaca matanya, menganalisis kelemahan Theo.
Tekanan suhu yang berlebihan. Tulisan itu tertera di kacamata Lyan.
Aneh sekali, Lyan berdecih. Dia berdiri, mengambil semacam benda bulat sebesar bola kasti di sakunya. Menekan tombol biru, dingin. Lalu melemparkannya di dekat Theo.
Theo menghindar, berpikir benda itu dapat meledak. Namun tidak ada perubahan, benda itu tidak meledak. Theo berlari, hendak kabur.
Secepat apapun Theo berlari, Lyan dapat dengan mudah menyusulnya, dia merasa di sepatu Lyan ada teknologi untuk mempercepat seseorang berlari.
Theo berontak, menggeram kesal. Lyan semakin memperkuat mencengkram kerah baju Theo. Menghantamkan kepala Theo ke meja, hingga membuat darah keluar dari sana.