“Terkadang, tidak semua masalah bisa diceritakan kepada orang lain. Ada yang lebih baik menjadi rahasia, tersimpan rapat dalam hati, karena itulah pilihan yang terbaik.”
***
Pemuda bersurai gelap itu tampak sibuk dengan buku sketsanya, digoresnya dengan pensil kertas itu hingga membentuk gambar sedemikian rupa. Merasa tidak puas, ia menghapus beberapa bagian yang dianggapnya tidak sempurna dan membenarkanya kembali.
Dia bukanlah seorang pelukis, bahkan sekadar hobi menggambar pun tidak, tapi karena proyeknya membutuhkan segala riset dan pertimbangan yang rumit, jadi dia harus serba hati-hati dalam menggambar pola di buku sketsanya. Untuk menghindari kegagalan yang sering ia lakukan.
Pemuda itu mengangkat buku sketsanya di depan muka, tersenyum atas hasil kerjanya, mengabaikan keramaian di kelas karena diurungkannya ulangan Fisika hari ini, sebab guru yang mengajar berhalangan hadir.
“Hei, Theo, apa itu rancangan untuk proyek baru mu?” Teman sebangkunya menyikut lengan pemuda bernama Theo itu.
Teman sebangkunya baru sadar, Theo sedari tadi tidak menyimak pembicaraannya dengan kedua teman perempuannya yang duduk di kursi depan. Theo malah sibuk sendiri dengan buku sketsanya dan mengabaikan teman-temannya yang lain.
“Proyek apa maksudmu? Aku cuma iseng menggambar.” Theo segera menutup buku sketsanya, membuat dahi ketiga temannya terlipat bingung.
“Kau jangan berbohong, Theo. Aku tahu kau tidak memiliki hobi menggambar,” ujarnya tetap bersikukuh.
“Aku tidak berbohong, Roy. Apa kalian mempercayaiku, Mely, Rain?” Theo menilik kedua gadis yang berada di depannya.
“Ya, aku mempercayaimu, Theo. Kau tidak mungkin menyembunyikan sesuatu pada sahabatnya sendiri ‘kan?” Raini menoleh ke Roy. “Dan kau, Roy, tidak baik menuduh teman seperti itu.”
Mely di sampingnya juga termangut-mangut. Raini, Mely, dan Roy, kembali berbincang-bincang. Sesekali mereka tertawa karena lelucon dari Roy, dia memang anak yang pandai membuat lawakan.
Raini mengembangkan senyumnya, lesung pipit tersembul di kedua pipinya, membuatnya terlihat manis dipandang mata. Tangan putihnya memperbaiki rambutnya. Dia terlihat elok dengan seragam putih-kelabu yang membalutnya. Tidak ada kata yang sanggup Theo utarakan jika membahas Raini, entah apa alasannya, Theo menaruh hati pada Raini. Atau biasa dia memanggil Rain, Rain-nya Theo lebih tepatnya, ya, sebutan yang bagus.
Sebenarnya Theo memiliki rahasia besar yang sedang ia sembunyikan, bahkan teman-temannya yang lain tidak menggetahui bahwa Theo memiliki rahasia sebesar itu. Dia berusaha menutupinya dari khalayak umum. Entah rahasia soal perasaannya, atau rahasia tentang proyek yang sedang dikerjakannya. Tanpa sadar Theo memperhatikan Raini tanpa berkedip.
“Hei, Theo, kau jangan melamun lagi.” Mely mengibaskan tangannya di depan wajah Theo, lantas ia berkacak pinggang mendapati kebiasaan buruk temannya yang satu ini.
Theo hanya menyengir tidak berdosa dan segera meminta maaf. Dia membetulkan posisi duduknya, menanyakan pada teman-temannya tentang topik pembicaraan yang sempat ia tinggalkan.
“Kau harus ikut lomba berenang tingkat provinsi itu, Theo,” Raini berkata dengan semangat saat Roy selesai menceritakan seluk-beluk perlombaan itu.
“Kenapa kau sangat bersemangat, Raini, Theo saja yang menjadi peserta tampak biasa saja,” ujar Mely sinis.
Raini menggaruk tengkuknya kikuk. “I-tu, aku hanya ingin Theo mengikuti lomba itu. Kau tahu ‘kan, aku suka atletik renang, apalagi atletnya, mereka terlihat keren, seperti menari di air.”
Theo menyetujui usulan teman-temannya, karena menurutnya itu ide yang bagus. Dia akan sangat bersemangat, apalagi Raini secara langsung menyemangatinya, kalau itu membuatnya senang kenapa Theo harus menolak? Mungkin dengan begitu, Raini akan sadar perasaan Theo yang selama ini dipendamnya sejak pertama kali masuk sekolah hingga dirinya menginjak kelas sebelas.
“Baik, aku akan berlatih mulai dari sekarang,” Theo berujar mantap, lantas segera keluar kelas saat bel istirahat berbunyi melengking, ia harus segera mengisi perutnya yang sedari tadi meronta-ronta minta diisi.
***
Theo buru-buru pulang saat pelajaran berakhir. Banyak hal penting yang harus diselesaikannya di rumah, proyek rahasianya harus terselesaikan secepat mungkin. Ya, mungkin itulah yang terbaik.
“Hei, apa kalian merasa akhir-akhir ini Theo sedikit aneh. Lihatlah dia sekarang, pulang terburu-buru, datang sekolah terlambat, sering melamun, sepertinya dia menyimpan rahasia besar yang coba disembunyikan dari kita.” Mely berdiri, menjinjing tasnya yang ringan—karena ia malas membawa banyak buku pelajaran, walaupun dengan risiko dihukum berdiri di depan kelas.
“Mungkin dia memiliki masalah.” Raini menggedikkan bahunya, mematikan kipas angin yang masih berputar di kelas.
Ruangan kelas yang menyisahkan Roy, Mely, dan Raini itu lengang sejenak. Tiba-tiba semuanya terdiam, berperang sendiri dengan pikiran masing-masing.
“Bagaimana kalau kita langsung mengunjungi rumah Theo? Biar lebih jelas. Nanti aku juga bisa berenang bersamanya di sana, itung-itung latihan buat Theo,” ujar Roy setelah lama terdiam.
“Baik.” Mely mengangguk. “Kapan kita ke sana?” tanyanya
“Nanti sekitar pukul tiga sore.” Roy melangkah keluar kelas.
Raini terdiam sejenak. “Mungkin aku akan terlambat, Roy, aku sedang ada urusan dengan Mely setelah ini.”