Theo terbaring dengan wajah pucat bah mayat, kalau saja tidak ada gerakan naik turun dari dada dan perutnya, mungkin orang lain sudah menganggapnya telah tiada.
“Bagus, kau telah membuat pernapasannya normal .... Beritahukan kami apa yang bisa kami bantu,” ujar Mely setelah Raini berhasil melakukan pertolongan pertama untuk Theo dengan kemampuan medis dasar yang dimilikinya.
Raini dengan cepat mengucapkan bantuan yang diperlukannya. Sedangkan Roy tidak tahu menahu tentang medis hanya bisa berdoa agar sahabatnya selamat. Sebenarnya dia masih terguncang, setelah tadi berusaha mati-matian menyelamatkan Theo, takut jika terjadi apa-apa dengan Theo, membawa Theo ke tepi. Lalu datanglah Mely dan Raini, mereka secara otomatis menolong Theo.
Yang membuat jantungnya hampir copot untuk kedua kalinya yaitu saat dia tidak melihat pergerakan naik turun dari perut Theo, tidak merasakan hembusan napas dari hidung Theo. Roy seketika khawatir saat itu, tapi untungnya Raini bisa mengatasi masalah itu.
Roy menghela napas pelan, tangannya masih gemetar. “Biar aku yang melakukannya,” ujarnya setelah memantapkan hatinya.
Roy menekan perut Theo, memompa keluar semua air yang berada di dalamnya. Satu kali, dua kali, tidak berhasil. Yang ketiga ... berhasil.
“Uhuk, uhuk.” Theo terbatuk-batuk mengeluarkan semua air yang mengandung kaporit keluar dari perutnya.
Roy mendudukkan Theo, menjepit batang hidung Theo bagian bawah tulang rawan hidung. Menyarankan Theo untuk bernapas dahulu dengan mulut.
“Bagaimana Theo? Apakah mimisannya sudah terhenti? Bagaimana perasaanmu saat ini? Apa kau merasa lebih baik?” tanya Roy.
Theo mengangguk lemas. Mely menyodorkan handuk kepadanya, Theo menerimanya, tersenyum lemah, mengucapkan terima kasih.
“Kau harus istirahat Theo, jangan terlalu memaksakan diri untuk berlatih. Kami akan pulang agar tidak menganggu kamu. Kalau kamu masih sakit jangan memaksakan diri untuk sekolah, tidak usah khawatir tertinggal pelajaran barang satu-dua hari,” ujar Raini, melirik Theo yang kini sedang dibantu Roy untuk berjalan menuju kamarnya.
Theo kali ini tidak berkomentar banyak seperti biasanya. Dia hanya tersenyum dengan bibir yang membiru dan wajah pucat.
***
Matahari berangsur-angsur keluar dari tahtanya, membuat semburat warna jingga yang indah di langit. Orang-orang mulai terlihat sibuk, ibu-ibu mulai membangunkan anaknya untuk sekolah, menyiapkan sarapan untuk keluarga tercinta. Adapun satu-dua anak yang bandel, tidak mau sekolah, membuat ibunya susah payah membujuknya. Orang-orang tua berlari-lari kecil di taman kota, tertawa bersama pasangan yang selalu menemaninya hingga lanjut usia.
Theo tersenyum getir, pemandangan yang indah. Semua orang terlihat bahagia bersama keluarganya.
Theo duduk di balkon kamarnya yang menghadap langsung ke taman kota. Dengan seragam yang sudah rapi membalut tubuhnya, tersenyum menyaksikan keindahan taman kota di pagi yang secerah itu.
Andai ibu dan ayahnya di sini, duduk bersama di meja makan. Ibunya datang membawa sarapan yang masih hangat dengan uap yang masih mengepul, pasti Theo akan memakan sarapannya dengan lahap. Lalu ayah Theo akan memulai percakapan dengan menanyakan tentang sekolah Theo, bercengkrama bersama, bergurau bersama. Sungguh Theo merindukan kebersamaan itu. Rindu sangat.
Walau usaha apapun yang Theo lakukan agar dirinya dan keluarganya bisa hanya sekadar berkumpul di rumah pun sepertinya mustahil. Ayahnya sibuk membuat alat-alat canggih sepanjang masa di ibu kota Negeri Bawah Angin. Dia seorang peneliti. Sedangkan ibunya sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Jadi bagaimana mungkin? Semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Theo sehari-hari hanya bisa mengajak bicara Shine, robot jenis humanoid ver 0.2 buatan ayahnya. Robot itu tingginya hampir setinggi seorang pemain bola basket, terkadang Theo merasa iri sendiri karena Shine terlalu tinggi. Entah berapa susunan microphone yang tertanam di dirinya, Theo tidak tahu, ayahnya membuat tanpa sepengetahuan Theo.
Shine memiliki sensor ruang, ia mampu mendeteksi arah datangnya sumber suara, posisi orang, dan barang-barang di sekitarnya, awalnya Theo tidak mempercayai robot memiliki kemampuan seperti itu, tapi dilihat dari kelakuannya ia benar-benar robot yang canggih. Bahkan waktu itu Theo melonggo tidak percaya.
Shine juga dilengkapi kemampuan bisa mengingat dan mengenali wajah seseorang, itulah penjelasan ayah Theo beberapa tahun silam. Theo mengingat sesuatu, dulu ayahnya juga berkata bahwa Shine dilengkapi dengan teknologi AI (Artificial Intelligence), yang berarti Shine dapat bertindak sesuai kemauannya sendiri, tidak perlu diperintah.
Shine dapat memahami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Theo, hal itu yang menyebabkan dia mirip sekali dengan manusia. Kalau orang melihat Shine mungkin ia akan menganggap Shine seorang artis yang tersesat, tidak mengherankan, ayah Theo membuat Shine dengan paras yang rupawan.
Ayah Theo membuat robot itu agar bisa menemani Theo yang sendirian di rumah. Agar Theo tidak kesepian. Bahkan tanpa sadar Theo menganggap Shine seperti kakaknya sendiri. Seperti kakak yang selalu melindungi adiknya. Dan mengenai Shine, tidak ada satu pun teman Theo yang tahu.
“Theo, ada panggilan video dari ibumu,” ucap Shine dengan suara ala robotnya yang khas.
“Ya, terima kasih, Shine.” Theo berdiri, melangkah masuk di kamarnya, menutup jendela sebentar lantas duduk di meja belajar.
“Hei, Nak. Apa kau baik-baik saja di sana? Maafkan Ibu yang tidak bisa pulang, Ibu sedang sibuk. Apa kau memaafkan Ibu, Theo?” ibu Theo dari sebrang sana bertanya dengan cemas.
“Tentu aku memaafkan Ibu, untuk apa aku marah padamu? Ibu tidak usah khawatir, di sini aku baik-baik saja.” Theo menatap wajah ibunya di layar monitor dengan tatapan sendu.
Ibu Theo menghela napas. “Apa kau merasa kesepian, Theo?”
“Sebenarnya ... iya. Ibu tahu? Terkadang Shine juga menyebalkan, aku juga baru tahu robot bisa seperti itu,” ujar Theo berbisik-bisik, takut Shine tidak sengaja mendengarnya.
Ibunya tertawa di sebrang sana. “Kau ini ada-ada saja Theo. Jangan membuat Snine kesal padamu, dengan begitu dia tidak akan menyebalkan .... Ibu baru sadar, wajahmu pucat sekali, apa kau sakit?”
Theo tampak gelagapan. “Iya ... sedikit. Baik, Bu aku akan berangkat sekolah dulu.” Theo buru-buru menutup pembicaraan, tidak ingin ibunya tahu tentang dirinya yang sedikit sakit.
“Oke, hati-hati naik motornya, jangan mengebut. Belajar yang rajin ya!” Ibunya menasehati Theo.
“Baik, Bu.” Theo mematikan layar monitor, menutup laptopnya. Menoleh ke Shine.
“Maaf Shine aku membicarakanmu.” Theo menggaruk kepalanya.
Robot itu tersenyum dengan gerakan patah-patah seperti tidak terlatih. “Tidak apa-apa, Theo.”
Theo berangkat ke sekolah setelah beberapa kalimat yang disampaikannya pada Shine. Walau Shine terkadang menyebalkan, tapi untuk seukuran robot sepertinya, Shine mahluk yang sangat menyenangkan.
***
Theo mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas. Teman-temannya sudah ramai yang berdatangan. Dia menghela napas lega, untunglah ia hari ini tidak datang terlambat, kalau datang terlambat dan dikenai hukuman di saat kondisi tubuhnya sedang tidak enak, pasti dia bisa pingsan di tempatnya dihukum saat itu juga.
“Hei teman-teman!” sapanya riang setiba di tempat duduknya.
“Apa kau sudah tidak apa-apa, Theo?” Itu suara Raini yang bertanya dengan suara lembutnya, seperti biasa.
“Aku baik-baik saja, Rain, aku kan kuat. Oh, ya, terima kasih atas bantuanmu kemarin, kalau kau tidak membantuku mungkin aku tidak akan ada di sini lagi bersama kalian.” Theo duduk di kursinya, menaruh tasnya di meja.
Raini mengangguk untuk menjawab, dia tersenyum manis, membuat kedua lesung pipitnya terlihat. Seketika Theo merasa ratusan kupu-kupu menggelitiki perutnya. Dia sedang bahagia.
Mely dan Roy serempak berpura-pura batuk, merasa dirinya tidak dianggap di sana. “Apa kau melupakan kami, Theo sayang?” tanya Mely sarkatis.
“Eh? Kalian, tidak mungkin aku melupakan kalian. Soal kemarin aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian Mely, Roy, juga ... Rain. Aku tidak tahu kalau tidak ada kalian apa jadinya aku kemarin.” Theo terkekeh.